Assalamu 'alaikuumm.. :)

Selasa, 12 Mei 2015

Rektor UIN Sunan Kalijaga Melantik Pejabat Baru di Lingkungan UIN Sunan Kalijaga

Senin, 11 Mei 2015 11:52:42 WIB


Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Drs. H. Akh. Minhaji, MA., Ph.D., melantik para penjabat baru UIN Sunan Kalijaga, bertempat di ruang pertemuan Gedung Pusat Administrasi, kampus setempat, Jum’at, 8 Mei 2015. Mereka yang dilantik adalah : Dr. Sri Rohyanti Zulaikha, S. Ag., SS., M. Si., sebagai Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perpustakaan, Dr. Agung Fatwanto, S.Si., M. Kom., sebagai Kepala UPT Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data, Dr. Sembodo Ardi Widodo, S.Ag., M. Ag., sebagai Kepala UPT Pusat Pengembangan Bahasa, Drs. Abdul Basir Solissa, M. Ag., sebagai Kepala UPT Pengembangan Bisnis. Keempatnya dilantik untuk masa jabatan 1915 – 2019, berdasarkan SK. Rektor Nomor 86.3 Tahun 2015
Dr. Muhammad Fakhri Husein, SE., M. Si., sebagai Ketua Lembaga penjaminan Mutu (LPM), Dr. Shofwatul Uyun, ST., M. Hum., sebagai Sekretaris Penjaminan Mutu (LPM, Dr. Ali Sodiqin, M. Ag., sebagai Kepala Pusat Pengembangan Standar Mutu LPM, Muchamad Abrori, S.Si., M. Kom., sebagai Kepala Pusat Audit dan pengendalian Mutu LPM. Keempatnya dilantik untuk masa jabatan 2015- 2019, berdasarkan SK. Rektor Nomor 86.1 Tahun 2015.
Dr. Fatimah, MA., sebagai Ketua Lembaga Penelitian dan pengabdian Masyarakat, Dr. Muhammad Wildan, MA., sebagai Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian masyarakat, Dr. Phil Al Makin, S. Ag., MA., sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Penerbitan pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Dr. Moh. Soehadha, S. Sos., M. Hum., sebagai Kepala Pusat Pengabdian Kepada Masyarakkat pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Dr. Muhrisun, S. Ag., MSW., sebagai Kepala Pusat Layanan Difabel pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Kelimanya dilantik berdasarkan SK. Rektor Nomor 86.2 Tahun 2015. Dr. H. Fahruddin Faiz, S. Ag., sebagai wakil Dekan I (Bidang Akademik) Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam. Fahruddin Faiz dilantik untuk masa jabatan 2015-2019 berdasarkan SK. Rektor Nomor 71 Tahun2015.
Raktor Prof. Akh. Mihaji dalam sambutannya selesai melantik berharap agar para pejabat yang baru dilantik ini, terus memelihara dan meningkatkan karier mereka dengan melaksanakan tugas-tugas pekerjaan sebaik baiknya, melakukan komunikasi dengan baik dengan jajaran kerja, disiplin tinggi dan profesional. (Weni Hidayati-Humas UIN Sunan Kalijaga).
Sumber: http://uin-suka.ac.id/page/berita/detail/1006/rektor-uin-sunan-kalijaga-melantik-pejabat-baru-di-lingkungan-uin-sunan-kalijaga

Minggu, 23 Maret 2014

PROPOSAL ANALISIS TENTANG SISTEM JUAL BELI PANJAR (DOWN OF PAYMENT) MENURUT PANDANGAN IMAM HANAFI

ANALISIS TENTANG SISTEM JUAL BELI PANJAR (DOWN OF PAYMENT) MENURUT PANDANGAN IMAM HANAFI
Proposal Skripsi Ini  Disusun Guna Memenuhi Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah : Metode Penelitian Kualitatif
Dosen Pengampu : Muhrisun Afandi
Description: Description: Description: Description: Description: D:\Kuliah S1\Semester 2\Logo UIN\index.jpeg
Disusun Oleh :
Rahmi Arsih                11380077


JURUSAN MUAMALAT (B)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013/2014


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Sebagai sistem kehidupan, Islam memberikan warna dalam setiap dimensi kehidupan manusia, tak terkecuali dunia ekonomi. Sistem Islam ini berusaha mendialektifkan nila-nilai ekonomi dengan nilai akidah ataupun etika. Artinya, kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia dibangun dengan materialisme dan spiritualisme. Kegiatan ekonomi yang dilakukan tidak hanya berbasis nilai materil, akan tetapi terdapat sandaran transcendental di dalamnya, sehingga akan bernilai ibadah. Selain itu, konsep dasar Islam dalam kegiatan muamalah (ekonomi) juga sangat konsen dengan nilai-nilai humanisme.[1]
Muamalah sendiri sering diartikan sebagai suatu aturan-aturan (hukum-hukum) Allah untuk mengatur manusia yang berkaitan dengan urusan duniawi dalam pergaulan sosial, sehingga setiap orang tidak dapat lepas dari orang lain untuk menutupi kebutuhannya. Interaksi antar individu manusia adalah perkara yang penting yang mendapatkan perhatian besar dalam Islam, khususnya yang berhubungan dengan pertukaran harta. Oleh karena itu Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيما[2]
Salah satu cara untuk meningkatkan taraf hidup manusia adalah dengan cara transaksi jual beli. Sejak dahulu, transaksi jual beli sudah dilaksanakan oleh manusia untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Jual beli barang merupakan transaksi paling kuat dalam dunia perniagaan (bisnis), bahkan secara umum addalah bagian terpenting dalam aktivitas usaha. Dalam syariat Islam sendiri jual beli dianjurkan seperti dalam firman Allah SWT :
وآحل الله البيع وحرم الربا[3]
Dalam melakukan transaksi jual beli, hal yang penting diperhatikan ialah mencari barang yang halal dan dengan jalan yang halal pula. Artinya, carilah barang yang halal untuk diperjualbelikan kepada orang lain atau diperdagangkan dengan cara yang sejujur-jujurnya, bersih dari segala sifat yang dapat merusak jual beli seperti halnya penipuan, pencurian, perampasan, riba, dan lain- lain.[4]
Salah satu sistem jual-beli yang kini berkembang, yaitu pemberlakuan uang panjar sebagai tanda pengikat kesepakatan. Istilah ini dikenal dengan DP (Down of Payment), atau uang muka. Biasa pula disebut dengan istilah "tanda jadi". Bentuk jual beli ini dapat diberi gambaran sebagai berikut : sejumlah uang yang dibayarkan di muka oleh seseorang pembeli barang kepada si penjual. Apabila transaksi itu mereka lanjutkan, maka uang muka itu dimasukkan ke dalam harga pembayaran. Namun, apabila si penjual tidak melanjutkan transaksi penjualan tersebut, maka uang yang sudah dibayarkan tadi akan menjadi milik si penjual.
Menanggapi hal tersebut, ulama madzhab memiliki perbedaan pandangan hukum. Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Hanafi  menyatakan bahwa jual beli sistem panjar (DP) tidak sah, karena merupakan jual beli yang fasid (rusak) dan dianggap  memakan harta orang lain dengan cara bathil. Namun, berbeda halnya dengan pandangan Imam Ahmad bin Hanbal, beliau menganggap jual beli tersebut diperbolehkan.[5]
Kemudian, yang menjadi permasalahan di sini ialah bagaimana hukum Islam menanggapi sistem jual beli panjar ini. Mayoritas ulama madzhab menganggap bahwa hal tersebut tidak sah, tetapi  dalam kehidupan bermasyarakat hal ini telah menjadi suatu kebiasaan. Maka, berawal dari hal inilah penulis ingin mengkaji dan menganalisis sistem jual beli panjar menurut pandangan Imam Hanafi yang terkenal dengan beristinbat hukum dengan menggunakan akal atau ra’yu.


B.     Pokok Masalah 
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka penulis dapat merumuskan pokok permasalahan sebegai berikut :
1.      Bagaimana metode istinbat hukum madzhab Hanafi tentang sistem jual beli panjar (DP) ?
2.      Bagaimana pendapat madzhab Hanafi tentang sistem jual beli panjar?
3.      Bagaimana validitas dalil yang menjadi dasar argumentasi madzhab Hanafi tentang sistem jual beli panjar?

C.    Kegunaan Hasil Penelitian
Bertitik tolak dari pokok permasalahn di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini ialah :
1.      Untuk menjelaskan dan mendeskripsikan sistem jual beli panjar menurut pandangan Imam Hanafi.
2.      Untuk mengetahui validitas dalil yang menjadi dasar argumentasi Imam Hanafi tentang sistem jual beli panjar.
Adapun penulisan skripsi ini dapat digunakan ke dalam dua aspek, yaitu:
1.      Aspek keilmuan. Dengan adanya penelitian ini semoga dapat memperkaya khazanah keilmuan kita terkait dengan masalah jual beli dengan sistem panjar dan sekaligus dapat dijadikan bahan lebih lanjut tentang jual beli panjar.
2.      Aspek terapan (praktis). Jika dilihat dari aspek praktis ini, semoga dapat dimanfaatkan untuk menyusun program pembinaan kehidupan beragama dan bermasyarakat, khususnya yang berkenaan dengan Mu’amalah untuk kalangan para pedagang yang melakukan aktivitas transaksi jual beli.

D.    Telaah Pustaka
Pembahasan mengenai jual beli dengan sistem panjar telah penulis temukan dalam beberapa  tulisan dan penelitian yang sifatnya sangat beragam, mengingat di era yang sangat modern ini jual beli sistem panjar (DP) sudah menjadi tradisi tersendiri. Maka dari itu, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang jual beli sistem panjar menurut pandangan mazhab Hanafi. Berikut beberapa karya ilmiah yang membahas tentang jual beli sistem panjar, di antaranya yaitu :
Aisyatun Nadlifah dalam skripsinya yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Penerapan Panjar dalam Sewa Menyewa Rumah (Studi Kasus di Sapen Demangan Gondokusuman Yogyakarta)”. Skripsi ini menjelaskan pandangan hukum Islam terhadap penerapan panjar dalam sewa menyewa rumah kos di daerah Sapen Demangan Gondokusuman Yogayakarta. Hukumnya diperbolehkan, dengan pertimbangan bahwa Allah SWT mempermudah segala urusan asalkan sesuai ketentuan hukum Islam dan tidak akan mempersulit upaya pelaksanaannya. Hal ini mengandung maksud bahwa panjar (DP) diperbolehkan selama itu sudah disepakati oleh pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian serta tidak boleh merugikan salah satu pihak. Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian lapangan (field research) yaitu penelitian dengan data yang diperoleh dari kegiatan di kancah (lapangan) kerja penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan dengan studi lapangan (observasi dan wawancara) dan studi kepustakaan.[6]
Syamsul Ma’arif dalam skripsinya yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Uang Muka dalam Sewa Menyewa di Famous Transportation Yogyakarta”. Dalam skripsi ini, praktek sewa menyewa dengan memakai uang muka yang terjadi di Famous Transportation adalah melakukan pemesanan terhadap mobil terlebih dahulu sebelum memakainya disertai dengan pemberian tanda jadi yaitu uang muka sebesar sepertiga atau setengah dari total biaya sewa tersebut. Pandangan hukum Islam dalam penerapan uang muka dalam sewa menyewa mobil tersebut adalah tidak sah dengan pertimbangan bahwa Allah SWT melarang segala urusan yang mendzolimi atau membuat aniaya kepada orang lain, yakni adanya pemaksaan dalam proses sewa menyewa. Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian lapangan (field research), serta teknik pengumpulan data dengan teknik wawancara dan observasi.[7]
Siti Maslikah dalam skripsinya yang berjudul “Jual Beli Hasil Bumi dengan Sistem Panjar dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Jenarsari Gemuh Kendal)”. Skripsi ini memberikan kesimpulan bahwa jual beli sistem panjar dalam pandangan hukum Islam tidak sah, sebab dalam jual beli tersebut ada beberapa unsur yang tidak diperbolehkan. Di samping itu larangan jual beli tersebut karena adanya hadist yang melarangnya, serta ada syarat fasad. Walaupun dalam praktek jual beli hasil bumi sistem panjar di Desa Jenarsari hukumnya sah akan tetapi, syari’at melarang jual beli tersebut dan mendapatkan dosa bagi pelakunya apabila dari salah satu pihak ada yang dirugikan. Jenis penelitian yang digunakan dalam karya ilmiah ini adalah field research (studi lapangan). Adapun alat untuk mengumpulkan data dengan wawancara dan observasi.[8]
Hidayat Nuryatin dalam skripsinya yang berjudul “Jual Beli Sistem Panjar dalam Perspektif Mazhab Syafi’i”. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa jual beli sistem panjar dalam pandangan Mazhab Syafi’i hukumnya tidak sah, sebab dalam jual beli tersebut ada beberapa unsur yang tidak diperbolehkan, di samping itu larangan jual beli tersebut karena adanya hadis yang melarangnya. Dalam hal ini antara pandangan Mazhab Syafi’i tentang jual beli sistem panjar dengan praktek yang dilakukan masyarakat dewasa ini dirasa kurang relevan dengan adanya perubahan hukum yang sesuai dengan perkembangan zaman maka jual beli sistem panjar dalam praktek dewasa ini boleh, disamping itu kebolehanya jual beli tersebut karena tradisi yang sudah melekat dalam masyarakat tidak dapat ditinggalkan, dan itu artinya jual beli sistem panjar boleh. Karena penelitian ini termasuk kategori penelitian kepustakaan (bibliography research), maka teknik pengumpulan data menggunakan studi pustaka, yaitu menghimpun data dari data primer dan skunder yang ada hubungannya dengan permasalahan yang akan dibahas, yang kemudian disimpulkan dan dianalisis.[9]

E.     Kerangka Teoritik
Secara bahasa, jual beli adalah menukar barang dengan sesama barang atau dengan uang yang dilakukan dengan jalan melepaskan hak milik dari  yang satu kepada yang lainya atas dasar saling merelakan. Dalam transaksi jual beli ada dua belah pihak yang terlibat, transaksi terjadi pada benda atau harta yang membawa pada kemaslahatan bagi kedua belah pihak, harta yang diperjual belikan itu halal, dan kedua belah pihak itu mempunyai hak  atas kepemilikanya untuk selamanya[10]. Hal yang paling pokok dari tasaruf adalah adanya rukun dan syarat jual beli, tanpa adanya hal tersebut maka kegiatan tasaruf tersebut dianggap tidak sah.
Selain itu, Al-bai’ (jual beli) bisa juga disebut dengan tukar menukar harta dengan harta dengan jalan sukarela atau suka sama suka. Atau bisa juga disebut dengan memindahkan kepemilikan dengan adanya imbalan menurut cara yang dibenarkan syara’.
Para ulama’ memberikan definisi yang berbeda-beda dalam segi terminologi. Dikalangan ulama’ Hanafi terdapat dua definisi, jual beli adalah:
1.      Saling menukar harta dengan harta melalui cara tertentu.
2.      Tukar menukar sesuatu yang diinginkan dengan sesuatu yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.[11]
Sedangkan menurut KUH Perdata pasal 1457, jual beli adalah suatu persetujuan yang mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
Dalam pasal tersebut terdapat akibat hukum bahwa jual beli telah dianggap terjadi antara kedua belah pihak, ketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan maupun harganya dibayar. Dari pergertian tersebut, maka timbullah sistem jual beli panjar atau disebut juga dengan DP (Down of Payment), atau uang muka. Jual beli ini terjadi ketika seorang pembeli barang menyerahkan sejumlah uang kepada penjual dengan maksud sebagai uang muka atas barang yang akan dibelinya. Apabila transaksi itu mereka lanjutkan, maka uang muka itu dimasukkan ke dalam harga pembayaran. Namun, apabila si penjual tidak melanjutkan transaksi penjualan tersebut, maka uang yang sudah dibayarkan tadi akan menjadi milik si penjual.
Berkaitan dengan  hukum dari jual beli sistem panjar ini, maka para ulama madzhab memiliki perbedaan pandangan hukum. Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Hanafi  menyatakan bahwa jual beli sistem panjar (DP) tidak sah, karena merupakan jual beli yang fasid (rusak) dan dianggap  memakan harta orang lain dengan cara bathil. Namun, berbeda halnya dengan pandangan Imam Ahmad bin Hanbal, beliau menganggap jual beli tersebut diperbolehkan. Perbedaan pandangan tersebut pastinya disebabkan karena perbedaan pola berfikir, cara beristinbat, serta cara penafsiran yang memiliki ciri khas masing-masing. Namun dalam pembahasan kali ini, penulis hanya ingin  membahas lebih dalam tentang sistem jual beli panjar menurut pandangan Imam Hanafi.
Dengan demikian, kerangka teorinya adalah pandangan Imam Hanafi terkait jual beli sistem panjar (DP) berdasarkan kitab yang sudah ada. Oleh karena itu, tiap-tiap bab dalam tulisan ini selalu dikemukakan singgungan singkat tentang sistem jual beli panjar menurut pandangan Imam Hanafi.

F.     Metodologi Penelitian
1.      Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini pada dasarnya bercorak library research, yaitu semua sumber berdasarkan bahan-bahan yang tertulis dan berkaitan dengan permasalahan yang penulis bahas, yakni analisis tentang sistem jual beli panjar menurut pandangan Imam Hanafi.
2.      Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan tematik, yaitu penelitian difokuskan pada tema tertentu untuk dikaji.  Adapun langkah-langkah penelitian ini adalah sebagai berikut :
a.       Menetapkan masalah yang akan dibahas, yaitu sistem jual beli panjar menurut pandangan Imam Hanafi.
b.      Menghimpun kitab-kitab yang berkaitan dengan masalah tersebut dengan terlebih dahulu membuat deskripsi mengenai indikasi hadits-hadits tentang jual beli sistem panjar.
c.       Meneliti kitab tersebut dilihat dari segi ke-shahih-annya.
d.      Menganalisis kitab yang dimaksud apakah relevan jika diterapkan pada zaman sekarang, kemudian mengambil kesimpulan.

3.      Teknik Pengumpulan Data
Berhubung penelitian ini bercorak  kepustakaan, maka dalam mengumpulkan data penulis membagi sumber data menjadi dua bagian :
a.       Sumber data primer, yaitu kitab yang menjadi sumber penetapan Imam Hanafi dalam menentukan hukum jual beli sistem panjar, yakni dalam kitab Sunan Abi Dawud karangan Abi Dawud Sulaiman ibn al-Asy’at as-Sajsataanii al-Azdii.
b.      Sumber data sekunder, yaitu mencakup karya-karya yang berkaitan dengan pokok bahasan.

4.      Teknik Analisis Data
a.       Deskriptif, yaitu data tentang jual beli sistem panjar dalam pandangan mazhab Hanafi yang telah diperoleh kemudian dipaparkan dan dijelaskan sedemikian rupa sehingga menghasilkan pemahaman yang kongkrit.
b.      Deduktif, yaitu menarik kesimpulan yang khusus atas dasar pengetahuan tentang hal-hal yang umum, data tentang jual beli sistem panjar dalam perspektif mazhab Hanafi secara umum dianalisis sedemikian rupa sehingga menghasilkan kesimpulan tidak sahnya jual beli dengan sistem panjar.

G.    Sistematika Pembahasan
Agar penulisan skripsi ini lebih mengarah pada tujuan pembahasan, maka diperlukan sistematika pembahasan yang terdiri dari enam bab, di antaranya yaitu :
Bab pertama. Merupakan pendahuluan studi ini. Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian, dan sistematika pembahasan yang dipakai dalam penelitian ini.
Bab kedua. Dalam bab ini penulis mengulas tentang pengertian, dasar hukum, rukun dan syarat sahnya jual beli, serta bentuk dari jual beli sistem panjar.
Bab ketiga. Menguraikan tokoh Imam Hanafi dan metode istinbath yang digunakan dalam berijtihad.
Bab keempat. Merupakan bab yang membahas pandangan mazhab Hanafi tentang jual beli dengan sistem panjar.
Bab kelima. Merupakan analisis terhadap pendapat mazhab Hanafi yaitu terkait validitas atau tidaknya sumber yang digunakan dan hasil ijtihadnya.
Bab keenam. Bab ini akan memberikan simpulan dari seluruh tema yang dipaparkan dari bab-bab sebelumnya, serta memberikan jawaban terhadap masalah-masalah yang menjadi fokus penelitian ini dan dilengkapi dengan sejumlah saran-saran.



[1] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), Cet.I, hlm.xviii
[2] An-Nisa (4) : 29
[3] Al-Baqarah (2) : 275
[4] Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih Mazhab Syafi’i, hlm.24
[5] Ibid., hlm.91
[6] Aisyatun Nadlifah, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Penerapan Panjar dalam Sewa Menyewa Rumah (Studi Kasus di Sapen Demangan Gondokusuman Yogyakarta),” Jurusan Muamalat Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta : Skripsi Tidak dipublikasikan (2009).
[7] Syamsul Ma’arif, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Uang Muka dalam Sewa Menyewa di Famous Transportation Yogyakarta”, Jurusan Muamalat Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta : Skripsi tidak dipublikasikan (2009).
[8] Siti Maslikah, “Jual Beli Hasil Bumi dengan Sistem Panjar dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Jenarsari Gemuh Kendal),” Jurusan Muamalat Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang : (2012).
[9] Hidayat Nuryatin, “Jual Beli Sistem Panjar dalam Perspektif Mazhab Syafi’i”, Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya : Skripsi tidak dipublikasikan (2009).
[10]Sohari Sahrani, RU’fa Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghali Indonesia, 2011), hlm. 66
[11] Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Logung  Pustaka, 2009), hlm 53

Sistem Pewarisan Hukum Adat

BAB I
PENDAHULUAN

Negara Indonesia terbentuk dari beberapa pulau yang terbentang dari Sabang hingga Merauke. Hal tersebut yang membuat Indonesia menjadi salah satu negara yang kaya akan keanekaragaman suku dan budaya. Dalam keberagaman suku dan budaya tersebut terdapat suatu kebiasaan adat yang mereka yakini, yang mana kebiasaan-kebiasaan adat tersebut berbeda antara satu wilayah dengan wilayah yang lain.
Pada masing-masing masyarakat adat tersebut memiliki hukum adat tersendiri yang mereka ta’ati dan hormati. Salah satu hal-hal yang diatur dalam hukum adat tersebut adalah hukum waris. Pada bab nanti menjelaskan tentang sistematika dalam pembagian harta waris menurut hukum adat serta hak dan kewajiban bagi ahli waris.













BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sistem Keturunan
           Masyarakat bangsa Indonesia yang menganut berbagai macam agama dan kepercayaan yang berbeda-beda mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dengan system keturunan yang berbeda pula. Sistem keturunan ini sudah berlaku sejak dahulu kala sebelum masuknya ajaran Hindu, Islam dan Kristen. Sistem keturunan yang berbeda-beda ini mempunyai pengaruh dalam sistem pewarisan hukum adat.
Secara teoritis, sistem keturunan ini dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
1.      Sistem Patrilinial (kelompok garis kebapakan)
Sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam  pewarisan. Suku-suku yang bergaris keturunan kebapakan antara lain adalah Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa tenggara, Irian.
2.      Sistem Matrilinial (kelompok garis keibuan)
Sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam pewarisan. Suku-suku yang bergaris keturunan ini adalah Minangkabau, Enggano, dan lain sebagainya.
3.      Sistem Parental atau Bilateral (kelompok garis ibu-bapak)
Sistem yang ditarik menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan. Adapun suku yang bergaris keturunan ini adalah Jawa, Kalimantan, Sunda, Madura, Melayu, dan lain-lain.
                                             

B.     Sistem Pewarisan Hukum Adat
Sistem yang digunakan untuk menentukan pewarisan adat di Indonesia bermacam-macam. Penerapan sistem tersebut berhubungan erat dengan adat yang ada di masing-masing daerah adat setempat, sehingga sistem adat masing-masing daerah tidak dapat disamakan antara satu daerah dengan daerah yang lain. Meskipun cara atau sistem pewarisannya berbeda  namun semangat dari hukum adat itu sama, yakni musyawarah mufakat.
Hukum adat waris di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan, baik itu patrilinial, matrilinial ataupun bilateral. Prinsip-prinsip garis keturunan terutama berpengaruh terhadap penetapan ahli waris maupun bagian harta peninggalan yang diwariskan. Hukum adat waris mengenal adanya tiga sistem kewarisan, yaitu[1]:
a.       Sistem kewarisan individual
Sistem pewarisan dimana setiap ahli waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing secara individual atau perorangan. Setelah harta warisan itu diadakan pembagian, maka masing-masing ahli waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta warisannya untuk digunakan dan dinikmati. Sistem hukum adat seperti ini biasanya dapat kita temui di wilayah Jawa, Batak, Sulawesi.
b.      Sistem kewarisan kolektif
Sistem ini merupakan pengalihan kepemilikan harta peninggalan dari pewaris kepada ahli waris sebagai kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya, melainkan setiap ahli waris berhak untuk mengusahakan, menggunakan, atau mendapat hasil dari harta peninggalan itu. Sedangkan cara pemakaiannya diatur bersama atas dasar musyawarah dan mufakat oleh semua anggota kerabat yang berhak atas harta peninggalan dibawah bimbingan kepala kerabat. Sistem pewarisan adat yang seperti ini biasanya digunakan masyarakat adat Minangkabau.
c.       Sistem kewarisan mayorat
Sebenarnya sistem pewarisan mayorat hampir sama dengan sistem kewarisan kolektif, hanya saja pengalihan harta yang tidak terbagi itu dilimpaahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin keluarga, menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga, yakni mengurus dan memelihara adik-adiknya sampai mereka dapat berdiri sendiri. Jadi disini, yang paling berhak mendapatkan dan menguasai harta pewaris adalah anak tertua dari pewaris tersebut. Sistem ini dapat  dibedakan menjadi dua jalur, yakni :
1)      Mayorat laki-laki, apabila anak laki-laki tertua pada saat pewaris meninggal atau anak laki-laki sulung merupakan ahli waris tunggal, seperti di Lampung.
2)      Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua pada saat pewaris meinggal, adalah ahli waris tunggal, seperti di Tanah Semendo Sumatra Selatan.
Harta yang dapat dibagi adalah harta peninggalan setelah dikurangi dengan biaya-biaya waktu pewaris sakit dan biaya pemakaman serta hutang-hutang yang ditinggalkan oleh pewaris. Menurut hukum adat untuk menentukan siapa yang mejadi ahli waris digunakan dua macam garis pokok yaitu[2] :
a.       Garis pokok keutamaan, yaitu garis hukum yang menentukan urutan-urutan keutamaan di antara golongan-golongan dalam keluarga pewaris dengan pengertian bahwa golongan yang satu lebih diutamakan daripada golongan yang lain. Golongan tersebut adalah sebagai berikut :
1)      Kelompok keutamaan I, yaitu mereka sebagai keturunan pewaris.
2)      Kelompok keutamaan II, yaitu mereka sebagai orang tua pewaris.
3)      Kelompok keutamaan III, yaitu mereka sebagai saudara-saudara pewaris dan keturunannya.
4)      Kelompok keutamaan IV, yaitu mereka sebagai kakek dan nenek pewaris.
b.      Garis pokok penggantian, yaitu garis hukum yang bertujuan untuk menentukan siapa di antara orang-orang di dalam kelompok keutamaan tertentu, tampil sebagai ahli waris, golongan tersebut yaitu :
1)      Orang yang tidak mempunyai penghubung dengan pewaris
2)      Orang yang tidak ada lagi penghubungnya dengan pewaris

Berdasarkan pengaruh dari prinsip garis keturunan yang berlaku  pada masyarakat itu sendiri, maka yang menjadi ahli waris tiap daerah akan berbeda. Masyarakat yang menganut prinsip patrilineal seperti Batak, yang merupakan ahli waris hanyalah anak laki-laki, demikian juga di Bali. Berbeda dengan masyarakat di Sumatera Selatan yang menganut matrilineal, golongan ahli waris adalah anak perempuan.  Masyarakat Jawa yang menganut sistem bilateral, baik anak laki-laki maupun perempuan mempunyai hak sama atas harta peninggalan orang tuanya.

C.    Proses Peralihan Harta Waris Adat
Proses peralihan harta waris sering disebut dengan proses pewarisan. Pengertian dari pewarisan itu sendiri adalah cara bagaimana pewaris berbuat untuk meneruskan harta kekayaan yang akan ditinggal kepada ahli waris ketika pewaris masih hidup dan bagaimana harta warisan itu dibagikan kepada ahli waris ketika pewaris telah wafat.
Pewarisan pada masyarakat adat mungkin saja dialihkan saat pewaris masih hidup, hal ini dapat dibuktikan misalnya saat orang tua mengalihkan barang harta keluarga kepada anak-anak saat masih hidup. Sebagai contoh, terdapat keluarga yang terdiri dari dua anak laki-laki, serta anak perempuan. Anak laki-laki tertua telah dewasa dan cakap bekerja, maka ayahnya memberikan sebidang sawah yang dilakukan di hadapan kepala desa.
Pemberian tersebut bersifat mutlak dan merupakan pewarisan atau toescheiding, sebab perbuatan tersebut bukan merupakan jual beli tetapi pengalihan harta benda dalam lingkungan keluarga sendiri[3]. Akan tetapi proses semacam  itu sangat cenderung terjadi pada masyarakat yang menganut sistem kewarisan individual, dan jarang terjadi. Pemberian harta kepada ahli waris semasa masih hidup dapat berwujud “jiwa dana”, yakni pemberian lepas dari pewaris kepada ahli waris. Selain itu ada juga pemberian berupa “pengupah jiwa” yang merupakan pemberian yang bersifat sementara, hanya untuk dinikmati hasilnya oleh ahli waris.
Peralihan harta waris pada masyarakat dengan sistem kewarisan mayorat terjadi pada saat pewaris meninggal dunia. Proses peralihan warisan pada saat pewaris masih hidup tentu akan berbeda dengan proses pewarisan secara hibah wasiat, karena hibah wasiat ini baru akan berlaku setelah orang tua meninggal dunia. Pelaksanaan warisan secara hibah wasiat pada dasarnya bertujuan untuk :[4]
a.       Untuk mewajibkan para ahli waris untuk membagi-bagi harta warisan dengan cara layak menurut anggapan pewaris
b.      Untuk mencegah terjadinya perselisihan
c.       Dengan hibah wasiat, pewaris menyatakan mengikat sifat-sifat dari harta peninggalan seperti barang-barang yang disewa dan barang-barang pusaka.

D.    Hak dan Kewajiban Ahli Waris Adat
Peristiwa hukum adalah peristiwa yang menimbulkan hak dan kewajiban, maka dari itu dengan adanya pewarisan secara hukum adat tentu akan menimbulkan hak dan kewajiban pula. Sistem yang dianut oleh masing-masing masyarakat adat juga mempengaruhi hak dan kewajiban seperti pada pembahasan sebelumnya.
Ahli waris pada sistem masyarakat yang mayorat, seperti pada masyarakat Lampung, mempunyai hak untuk menikmati harta warisan terutama untuk kelangsungan hidup keluarganya. Harta warisan yang tidak terbagi-bagi itu hanya dikuasai oleh anak tertua, dan ia berkuasa untuk mengusahakan sebagai sumber kehidupan baik untuk pribadi, bersama keluarga atau untuk adik-adiknya.[5] Perbedaan hak ahli waris yang lain terdapat pada masyarakat Jawa dengan sistem individual, dimana harta peninggalan si pewaris dibagikan kepada masing-masing ahli warisnya, sehingga ahli waris berhak memakai, mengolah dan menikmati hasilnya.[6]
Berbeda dengan sistem kewarisan yang kolektif seperti di Minangkabau, yaitu harta warisan itu merupakan harta pusaka milik dari suatu keluarga. Harta peninggalan hanya dapat dipakai saja oleh segenap warga keluarga yang bersangkutan, dan tidak dapat dimiliki oleh seluruh warga keluarga secara individual.
Selain hak atas harta warisan, terdapat juga kewajiban ahli waris atas harta warisan yang juga berbeda tergantung daerahnya. Kewajiban utama ahli waris di daerah Lampung adalah menjaga dan memelihara keutuhan harta warisan, mengusahakan harta warisan untuk kelangsungan hidupnya dan adik-adiknya. Ahli waris di daerah Tapanuli, Kalimantan, dan Bali mempunyai kewajiban membayar hutang pewaris asal saja penagih hutang itu memberitahukan haknya kepada ahli waris tersebut, dan juga menyelenggarakan upacara mayat serta menguburkan (perawatan jenazah).
1.      Hutang-hutang pewaris
Terdapat beberapa kebiasaan menyangkut beban-beban yang ditinggalkan oleh pewaris:
a.       Di daerah Tapanuli (suku Batak), Kalimantan (susku Dayak) dan di Pulau Bali misalnya, para ahli waris wajib membayar hutang pewaris ketika penagih hutang memberitahukan haknya kepada para ahli waris tersebut dalam waktu 40 hari setelah pewaris meninggal atau pada waktu “nyekah” (di Bali), yaitu selamatan bagi orang yang meninggal.
b.      Di daerah Gianyar, Bali, hutang-hutang si pewaris hanya beralih dari orang tua kepada anak-anaknya dan dari suami kepada istri atau sebaliknya, dan tidak kepada anggota warga keluarga lainnya. Dalam artian, yang menanggung hutang pewaris ialah anggota keluarga yang paling dekat dengannya.
c.       Di Jawa, orang menganggap bahwa hanya harta peninggalan pewaris dapat dipergunakan untuk membayar hutangnya, sehingga harta itu tidak boleh dibagi-bagi dulu sebelum hutang pewaris dibayar dari harta tersebut. Menurut adat, pada hakikatnya sesuatu yang beralih tangan dari orang yang meninggal kepada para ahli warisnya itu ialah barang-barang tinggalan dalam keadaan bersih, artinya setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang dan pembayaran-pembayaran lainnya, misalnya biaya  kubur.   
             Dalam hukum adat, pembagian warisan tidak selalu ditangguhkan sampai semua hutang pewaris dibayar. Setelah para ahli waris menerima bagiannya, mereka dapat ditegur oleh para kreditur untuk membayar hutang si pewaris. Dan kebanyakan daerah di Indonesia, terutama di Jawa, hutang-hutang ini harus dibayar oleh para ahli waris sekedar mereka itu menerima bagian harta peninggalan seta kewajiban mereka untuk membayar itu sepadan dengan jumlah yang diterima oleh mereka masing-masing, sehingga jika harta peninggalan itu tidak mencukupi maka para ahli waris tidak dapat dituntut untuk memebayar kekurangan hutang tersebut. Hal ini dikuatkan dengan keluarnya Putusan Landraad Purworejo tanggal 23 Maret 1938 di T. 148 halaman 320 berbunyi, bahwa ahli waris bertanggung jawab atas hutang pewaris sekedar harta warisannya mencukupi.
             Menurut Djojodugoeno-Tirtawinata, khususnya di Jawa Tengah seringkali para ahli waris membayar juga kekurangannya dengan maksud supaya tidak memberatkan pewaris di dunia dan akhirat.[7]
2.      Biaya perawatan jenazah
             Perawatan jenazah biasanya terdiri dari penyelenggaraan upacara kematian serta penguburannya. Kewajiban untuk merawat jenazah begitu penting, sehingga seorang ahli waris dengan tidak sepengetahuan ahli waris lainnya, boleh menjual sesuatu bagian dari harta peninggalan untuk membiayai penguburan si pewaris, dengan syarat pengeluaran biaya itu harus diselenggarakan dalam batas-batas yang patut.
             Pembayaran hutang untuk keperluan ongkos mayat harus didahulukan jika ditagih oleh kreditur. Sebelum harta peninggalan itu dibagi-bagi, maka biaya mayat wajib dibayar lebih dulu.
             Kewajiban mengubur adalah demikian pentingnya, sehingga jika yang mengerjakan itu tidak termasuk ahli warisnya, maka ia berhak mengambil sebagian harta peninggalan si mayat sebagai ganti biaya yang dikeluarkannya. Ketika si mayat meninggal dalam keadaan tidak mempunyai ahli waris, maka harta peninggalannya dapat diberikan kepada orang yang menyelenggarakan penguburannya.
             Pada umumnya, selamatan-selamatan untuk arwah yang meninggal diselenggarakan oleh para ahli waris atas biaya sendiri yang tidak diperhitungkan pada waktu pembagian harta peninggalan. Selamatan tersebut diadakan pada hari meninggalnya pewaris dan seterusnya pada hari ke-3, ke-7, ke-40, dan ke-100 sesudah hari meninggalnya pewaris. Bahkan, di Jawa Tengah dan Jawa Timur berlaku satu tahun, dua tahun, dan seribu hari setelah pewaris meninggal dunia. Selamatan-selamatan ini disebut “wilujengan”.
             Biaya untuk menyelenggarakan selamatan-selamatan ini tidak termasuk biaya upacara mayat dan biaya penguburannya. Namun, apabila setelah semua hutang-hutang pewaris dilunasi dari harta peninggalannya dan masih ada sisanya, maka biaya selamatan tersebut dapat pula diambilkan dari sisa harta peninggalan itu.[8]



















BAB III
PENUTUP


Kesimpulan
Dalam hukum adat mengenal adanya tiga sistem kewarisan, yaitu :
1.      Sistem kewarisan individual, yaitu sistem pewarisan dimana setiap ahli waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan serta memanfaatkannya menurut bagiannya masing-masing secara indiviual atau perorangan. Sistem hukum adat seperti ini biasanya dapat kita temui di wilayah Jawa, Batak, Sulawesi.
2.      Sistem kewarisan kolektif, yaitu sistem pewarisan dimana setiap ahli waris tidak bisa menguasai dan memiliki harta waris secara penuh, mereka hanya diperkenankan menikmati harta waris tersebut secara bersama-sama. Sistem pewarisan adat yang seperti ini biasanya digunakan masyarakat adat Minagkabau.
3.      Sistem kewarisan mayorat, yaitu sistem kewarisan kolektif yang pengalihan harta itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga. Sistem ini dapat  dibedakan menjadi dua jalur, yakni mayorat laki-laki dan mayorat perempuan.
                 Dalam hukum adat, sistem pembagian kewarisan tidak ditetapkan dengan angka matematika, tetapi berkaitan erat dengan sistem keturunan yang dianutnutnya. Dengan adanya kematian seseorang akan menimbulkan akibat hukum, yakni timbulnya hak dan kewajiban bagi keluarga yang ditinggalkannya. Hak tersebut ialah mendapatkan harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris, sedangkan kewajibannya ialah melunasi hutang serta biaya perawatan  jenazah.


DAFTAR PUSTAKA

Soekanto, Soejono, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali, 1986.
Wulansari, Dewi, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, Bandung : Refika Aditama.
Wignjodipoero, Soerojo, Pengantar Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung, 1995.




[1] Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1981), hlm 260.
[2] Soerjono Soekanto, Hukum ……., hlm 261.
[3]Soerjono Soekanto, Hukum…..., hlm 270 .
[4]Soerjono Soekanto, Hukum…..., hlm 271.
[5] Soerjono Soekanto, Hukum…..., hlm 275.           
[6] Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, (Refika Aditama: Bandung), hlm 76.
[7]Soerojo Wignjodipoero,  Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung Agung, 1995), Cet.14, hlm.178-179.
[8] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan……., hlm.179-180.