Assalamu 'alaikuumm.. :)

Minggu, 23 Maret 2014

Sistem Pewarisan Hukum Adat

BAB I
PENDAHULUAN

Negara Indonesia terbentuk dari beberapa pulau yang terbentang dari Sabang hingga Merauke. Hal tersebut yang membuat Indonesia menjadi salah satu negara yang kaya akan keanekaragaman suku dan budaya. Dalam keberagaman suku dan budaya tersebut terdapat suatu kebiasaan adat yang mereka yakini, yang mana kebiasaan-kebiasaan adat tersebut berbeda antara satu wilayah dengan wilayah yang lain.
Pada masing-masing masyarakat adat tersebut memiliki hukum adat tersendiri yang mereka ta’ati dan hormati. Salah satu hal-hal yang diatur dalam hukum adat tersebut adalah hukum waris. Pada bab nanti menjelaskan tentang sistematika dalam pembagian harta waris menurut hukum adat serta hak dan kewajiban bagi ahli waris.













BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sistem Keturunan
           Masyarakat bangsa Indonesia yang menganut berbagai macam agama dan kepercayaan yang berbeda-beda mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dengan system keturunan yang berbeda pula. Sistem keturunan ini sudah berlaku sejak dahulu kala sebelum masuknya ajaran Hindu, Islam dan Kristen. Sistem keturunan yang berbeda-beda ini mempunyai pengaruh dalam sistem pewarisan hukum adat.
Secara teoritis, sistem keturunan ini dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
1.      Sistem Patrilinial (kelompok garis kebapakan)
Sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam  pewarisan. Suku-suku yang bergaris keturunan kebapakan antara lain adalah Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa tenggara, Irian.
2.      Sistem Matrilinial (kelompok garis keibuan)
Sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam pewarisan. Suku-suku yang bergaris keturunan ini adalah Minangkabau, Enggano, dan lain sebagainya.
3.      Sistem Parental atau Bilateral (kelompok garis ibu-bapak)
Sistem yang ditarik menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan. Adapun suku yang bergaris keturunan ini adalah Jawa, Kalimantan, Sunda, Madura, Melayu, dan lain-lain.
                                             

B.     Sistem Pewarisan Hukum Adat
Sistem yang digunakan untuk menentukan pewarisan adat di Indonesia bermacam-macam. Penerapan sistem tersebut berhubungan erat dengan adat yang ada di masing-masing daerah adat setempat, sehingga sistem adat masing-masing daerah tidak dapat disamakan antara satu daerah dengan daerah yang lain. Meskipun cara atau sistem pewarisannya berbeda  namun semangat dari hukum adat itu sama, yakni musyawarah mufakat.
Hukum adat waris di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan, baik itu patrilinial, matrilinial ataupun bilateral. Prinsip-prinsip garis keturunan terutama berpengaruh terhadap penetapan ahli waris maupun bagian harta peninggalan yang diwariskan. Hukum adat waris mengenal adanya tiga sistem kewarisan, yaitu[1]:
a.       Sistem kewarisan individual
Sistem pewarisan dimana setiap ahli waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing secara individual atau perorangan. Setelah harta warisan itu diadakan pembagian, maka masing-masing ahli waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta warisannya untuk digunakan dan dinikmati. Sistem hukum adat seperti ini biasanya dapat kita temui di wilayah Jawa, Batak, Sulawesi.
b.      Sistem kewarisan kolektif
Sistem ini merupakan pengalihan kepemilikan harta peninggalan dari pewaris kepada ahli waris sebagai kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya, melainkan setiap ahli waris berhak untuk mengusahakan, menggunakan, atau mendapat hasil dari harta peninggalan itu. Sedangkan cara pemakaiannya diatur bersama atas dasar musyawarah dan mufakat oleh semua anggota kerabat yang berhak atas harta peninggalan dibawah bimbingan kepala kerabat. Sistem pewarisan adat yang seperti ini biasanya digunakan masyarakat adat Minangkabau.
c.       Sistem kewarisan mayorat
Sebenarnya sistem pewarisan mayorat hampir sama dengan sistem kewarisan kolektif, hanya saja pengalihan harta yang tidak terbagi itu dilimpaahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin keluarga, menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga, yakni mengurus dan memelihara adik-adiknya sampai mereka dapat berdiri sendiri. Jadi disini, yang paling berhak mendapatkan dan menguasai harta pewaris adalah anak tertua dari pewaris tersebut. Sistem ini dapat  dibedakan menjadi dua jalur, yakni :
1)      Mayorat laki-laki, apabila anak laki-laki tertua pada saat pewaris meninggal atau anak laki-laki sulung merupakan ahli waris tunggal, seperti di Lampung.
2)      Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua pada saat pewaris meinggal, adalah ahli waris tunggal, seperti di Tanah Semendo Sumatra Selatan.
Harta yang dapat dibagi adalah harta peninggalan setelah dikurangi dengan biaya-biaya waktu pewaris sakit dan biaya pemakaman serta hutang-hutang yang ditinggalkan oleh pewaris. Menurut hukum adat untuk menentukan siapa yang mejadi ahli waris digunakan dua macam garis pokok yaitu[2] :
a.       Garis pokok keutamaan, yaitu garis hukum yang menentukan urutan-urutan keutamaan di antara golongan-golongan dalam keluarga pewaris dengan pengertian bahwa golongan yang satu lebih diutamakan daripada golongan yang lain. Golongan tersebut adalah sebagai berikut :
1)      Kelompok keutamaan I, yaitu mereka sebagai keturunan pewaris.
2)      Kelompok keutamaan II, yaitu mereka sebagai orang tua pewaris.
3)      Kelompok keutamaan III, yaitu mereka sebagai saudara-saudara pewaris dan keturunannya.
4)      Kelompok keutamaan IV, yaitu mereka sebagai kakek dan nenek pewaris.
b.      Garis pokok penggantian, yaitu garis hukum yang bertujuan untuk menentukan siapa di antara orang-orang di dalam kelompok keutamaan tertentu, tampil sebagai ahli waris, golongan tersebut yaitu :
1)      Orang yang tidak mempunyai penghubung dengan pewaris
2)      Orang yang tidak ada lagi penghubungnya dengan pewaris

Berdasarkan pengaruh dari prinsip garis keturunan yang berlaku  pada masyarakat itu sendiri, maka yang menjadi ahli waris tiap daerah akan berbeda. Masyarakat yang menganut prinsip patrilineal seperti Batak, yang merupakan ahli waris hanyalah anak laki-laki, demikian juga di Bali. Berbeda dengan masyarakat di Sumatera Selatan yang menganut matrilineal, golongan ahli waris adalah anak perempuan.  Masyarakat Jawa yang menganut sistem bilateral, baik anak laki-laki maupun perempuan mempunyai hak sama atas harta peninggalan orang tuanya.

C.    Proses Peralihan Harta Waris Adat
Proses peralihan harta waris sering disebut dengan proses pewarisan. Pengertian dari pewarisan itu sendiri adalah cara bagaimana pewaris berbuat untuk meneruskan harta kekayaan yang akan ditinggal kepada ahli waris ketika pewaris masih hidup dan bagaimana harta warisan itu dibagikan kepada ahli waris ketika pewaris telah wafat.
Pewarisan pada masyarakat adat mungkin saja dialihkan saat pewaris masih hidup, hal ini dapat dibuktikan misalnya saat orang tua mengalihkan barang harta keluarga kepada anak-anak saat masih hidup. Sebagai contoh, terdapat keluarga yang terdiri dari dua anak laki-laki, serta anak perempuan. Anak laki-laki tertua telah dewasa dan cakap bekerja, maka ayahnya memberikan sebidang sawah yang dilakukan di hadapan kepala desa.
Pemberian tersebut bersifat mutlak dan merupakan pewarisan atau toescheiding, sebab perbuatan tersebut bukan merupakan jual beli tetapi pengalihan harta benda dalam lingkungan keluarga sendiri[3]. Akan tetapi proses semacam  itu sangat cenderung terjadi pada masyarakat yang menganut sistem kewarisan individual, dan jarang terjadi. Pemberian harta kepada ahli waris semasa masih hidup dapat berwujud “jiwa dana”, yakni pemberian lepas dari pewaris kepada ahli waris. Selain itu ada juga pemberian berupa “pengupah jiwa” yang merupakan pemberian yang bersifat sementara, hanya untuk dinikmati hasilnya oleh ahli waris.
Peralihan harta waris pada masyarakat dengan sistem kewarisan mayorat terjadi pada saat pewaris meninggal dunia. Proses peralihan warisan pada saat pewaris masih hidup tentu akan berbeda dengan proses pewarisan secara hibah wasiat, karena hibah wasiat ini baru akan berlaku setelah orang tua meninggal dunia. Pelaksanaan warisan secara hibah wasiat pada dasarnya bertujuan untuk :[4]
a.       Untuk mewajibkan para ahli waris untuk membagi-bagi harta warisan dengan cara layak menurut anggapan pewaris
b.      Untuk mencegah terjadinya perselisihan
c.       Dengan hibah wasiat, pewaris menyatakan mengikat sifat-sifat dari harta peninggalan seperti barang-barang yang disewa dan barang-barang pusaka.

D.    Hak dan Kewajiban Ahli Waris Adat
Peristiwa hukum adalah peristiwa yang menimbulkan hak dan kewajiban, maka dari itu dengan adanya pewarisan secara hukum adat tentu akan menimbulkan hak dan kewajiban pula. Sistem yang dianut oleh masing-masing masyarakat adat juga mempengaruhi hak dan kewajiban seperti pada pembahasan sebelumnya.
Ahli waris pada sistem masyarakat yang mayorat, seperti pada masyarakat Lampung, mempunyai hak untuk menikmati harta warisan terutama untuk kelangsungan hidup keluarganya. Harta warisan yang tidak terbagi-bagi itu hanya dikuasai oleh anak tertua, dan ia berkuasa untuk mengusahakan sebagai sumber kehidupan baik untuk pribadi, bersama keluarga atau untuk adik-adiknya.[5] Perbedaan hak ahli waris yang lain terdapat pada masyarakat Jawa dengan sistem individual, dimana harta peninggalan si pewaris dibagikan kepada masing-masing ahli warisnya, sehingga ahli waris berhak memakai, mengolah dan menikmati hasilnya.[6]
Berbeda dengan sistem kewarisan yang kolektif seperti di Minangkabau, yaitu harta warisan itu merupakan harta pusaka milik dari suatu keluarga. Harta peninggalan hanya dapat dipakai saja oleh segenap warga keluarga yang bersangkutan, dan tidak dapat dimiliki oleh seluruh warga keluarga secara individual.
Selain hak atas harta warisan, terdapat juga kewajiban ahli waris atas harta warisan yang juga berbeda tergantung daerahnya. Kewajiban utama ahli waris di daerah Lampung adalah menjaga dan memelihara keutuhan harta warisan, mengusahakan harta warisan untuk kelangsungan hidupnya dan adik-adiknya. Ahli waris di daerah Tapanuli, Kalimantan, dan Bali mempunyai kewajiban membayar hutang pewaris asal saja penagih hutang itu memberitahukan haknya kepada ahli waris tersebut, dan juga menyelenggarakan upacara mayat serta menguburkan (perawatan jenazah).
1.      Hutang-hutang pewaris
Terdapat beberapa kebiasaan menyangkut beban-beban yang ditinggalkan oleh pewaris:
a.       Di daerah Tapanuli (suku Batak), Kalimantan (susku Dayak) dan di Pulau Bali misalnya, para ahli waris wajib membayar hutang pewaris ketika penagih hutang memberitahukan haknya kepada para ahli waris tersebut dalam waktu 40 hari setelah pewaris meninggal atau pada waktu “nyekah” (di Bali), yaitu selamatan bagi orang yang meninggal.
b.      Di daerah Gianyar, Bali, hutang-hutang si pewaris hanya beralih dari orang tua kepada anak-anaknya dan dari suami kepada istri atau sebaliknya, dan tidak kepada anggota warga keluarga lainnya. Dalam artian, yang menanggung hutang pewaris ialah anggota keluarga yang paling dekat dengannya.
c.       Di Jawa, orang menganggap bahwa hanya harta peninggalan pewaris dapat dipergunakan untuk membayar hutangnya, sehingga harta itu tidak boleh dibagi-bagi dulu sebelum hutang pewaris dibayar dari harta tersebut. Menurut adat, pada hakikatnya sesuatu yang beralih tangan dari orang yang meninggal kepada para ahli warisnya itu ialah barang-barang tinggalan dalam keadaan bersih, artinya setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang dan pembayaran-pembayaran lainnya, misalnya biaya  kubur.   
             Dalam hukum adat, pembagian warisan tidak selalu ditangguhkan sampai semua hutang pewaris dibayar. Setelah para ahli waris menerima bagiannya, mereka dapat ditegur oleh para kreditur untuk membayar hutang si pewaris. Dan kebanyakan daerah di Indonesia, terutama di Jawa, hutang-hutang ini harus dibayar oleh para ahli waris sekedar mereka itu menerima bagian harta peninggalan seta kewajiban mereka untuk membayar itu sepadan dengan jumlah yang diterima oleh mereka masing-masing, sehingga jika harta peninggalan itu tidak mencukupi maka para ahli waris tidak dapat dituntut untuk memebayar kekurangan hutang tersebut. Hal ini dikuatkan dengan keluarnya Putusan Landraad Purworejo tanggal 23 Maret 1938 di T. 148 halaman 320 berbunyi, bahwa ahli waris bertanggung jawab atas hutang pewaris sekedar harta warisannya mencukupi.
             Menurut Djojodugoeno-Tirtawinata, khususnya di Jawa Tengah seringkali para ahli waris membayar juga kekurangannya dengan maksud supaya tidak memberatkan pewaris di dunia dan akhirat.[7]
2.      Biaya perawatan jenazah
             Perawatan jenazah biasanya terdiri dari penyelenggaraan upacara kematian serta penguburannya. Kewajiban untuk merawat jenazah begitu penting, sehingga seorang ahli waris dengan tidak sepengetahuan ahli waris lainnya, boleh menjual sesuatu bagian dari harta peninggalan untuk membiayai penguburan si pewaris, dengan syarat pengeluaran biaya itu harus diselenggarakan dalam batas-batas yang patut.
             Pembayaran hutang untuk keperluan ongkos mayat harus didahulukan jika ditagih oleh kreditur. Sebelum harta peninggalan itu dibagi-bagi, maka biaya mayat wajib dibayar lebih dulu.
             Kewajiban mengubur adalah demikian pentingnya, sehingga jika yang mengerjakan itu tidak termasuk ahli warisnya, maka ia berhak mengambil sebagian harta peninggalan si mayat sebagai ganti biaya yang dikeluarkannya. Ketika si mayat meninggal dalam keadaan tidak mempunyai ahli waris, maka harta peninggalannya dapat diberikan kepada orang yang menyelenggarakan penguburannya.
             Pada umumnya, selamatan-selamatan untuk arwah yang meninggal diselenggarakan oleh para ahli waris atas biaya sendiri yang tidak diperhitungkan pada waktu pembagian harta peninggalan. Selamatan tersebut diadakan pada hari meninggalnya pewaris dan seterusnya pada hari ke-3, ke-7, ke-40, dan ke-100 sesudah hari meninggalnya pewaris. Bahkan, di Jawa Tengah dan Jawa Timur berlaku satu tahun, dua tahun, dan seribu hari setelah pewaris meninggal dunia. Selamatan-selamatan ini disebut “wilujengan”.
             Biaya untuk menyelenggarakan selamatan-selamatan ini tidak termasuk biaya upacara mayat dan biaya penguburannya. Namun, apabila setelah semua hutang-hutang pewaris dilunasi dari harta peninggalannya dan masih ada sisanya, maka biaya selamatan tersebut dapat pula diambilkan dari sisa harta peninggalan itu.[8]



















BAB III
PENUTUP


Kesimpulan
Dalam hukum adat mengenal adanya tiga sistem kewarisan, yaitu :
1.      Sistem kewarisan individual, yaitu sistem pewarisan dimana setiap ahli waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan serta memanfaatkannya menurut bagiannya masing-masing secara indiviual atau perorangan. Sistem hukum adat seperti ini biasanya dapat kita temui di wilayah Jawa, Batak, Sulawesi.
2.      Sistem kewarisan kolektif, yaitu sistem pewarisan dimana setiap ahli waris tidak bisa menguasai dan memiliki harta waris secara penuh, mereka hanya diperkenankan menikmati harta waris tersebut secara bersama-sama. Sistem pewarisan adat yang seperti ini biasanya digunakan masyarakat adat Minagkabau.
3.      Sistem kewarisan mayorat, yaitu sistem kewarisan kolektif yang pengalihan harta itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga. Sistem ini dapat  dibedakan menjadi dua jalur, yakni mayorat laki-laki dan mayorat perempuan.
                 Dalam hukum adat, sistem pembagian kewarisan tidak ditetapkan dengan angka matematika, tetapi berkaitan erat dengan sistem keturunan yang dianutnutnya. Dengan adanya kematian seseorang akan menimbulkan akibat hukum, yakni timbulnya hak dan kewajiban bagi keluarga yang ditinggalkannya. Hak tersebut ialah mendapatkan harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris, sedangkan kewajibannya ialah melunasi hutang serta biaya perawatan  jenazah.


DAFTAR PUSTAKA

Soekanto, Soejono, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali, 1986.
Wulansari, Dewi, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, Bandung : Refika Aditama.
Wignjodipoero, Soerojo, Pengantar Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung, 1995.




[1] Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1981), hlm 260.
[2] Soerjono Soekanto, Hukum ……., hlm 261.
[3]Soerjono Soekanto, Hukum…..., hlm 270 .
[4]Soerjono Soekanto, Hukum…..., hlm 271.
[5] Soerjono Soekanto, Hukum…..., hlm 275.           
[6] Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, (Refika Aditama: Bandung), hlm 76.
[7]Soerojo Wignjodipoero,  Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung Agung, 1995), Cet.14, hlm.178-179.
[8] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan……., hlm.179-180.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar