BAB I
PENDAHULUAN
Negara
Indonesia terbentuk dari beberapa pulau yang terbentang dari Sabang hingga
Merauke. Hal tersebut yang membuat Indonesia menjadi salah satu negara yang
kaya akan keanekaragaman suku dan budaya. Dalam keberagaman suku dan budaya
tersebut terdapat suatu kebiasaan adat yang mereka yakini, yang mana
kebiasaan-kebiasaan adat tersebut berbeda antara satu wilayah dengan wilayah
yang lain.
Pada
masing-masing masyarakat adat tersebut memiliki hukum adat tersendiri yang
mereka ta’ati dan hormati. Salah satu hal-hal yang diatur dalam hukum adat
tersebut adalah hukum waris. Pada bab nanti menjelaskan tentang sistematika
dalam pembagian harta waris menurut hukum adat serta hak dan kewajiban bagi
ahli waris.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sistem Keturunan
Masyarakat
bangsa Indonesia yang menganut berbagai macam agama dan kepercayaan yang
berbeda-beda mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dengan system keturunan yang
berbeda pula. Sistem keturunan ini sudah berlaku sejak dahulu kala sebelum
masuknya ajaran Hindu, Islam dan Kristen. Sistem keturunan yang berbeda-beda
ini mempunyai pengaruh dalam sistem pewarisan hukum adat.
Secara teoritis, sistem keturunan ini dapat dibagi menjadi tiga
kelompok, yaitu:
1.
Sistem
Patrilinial (kelompok garis kebapakan)
Sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana kedudukan
pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam pewarisan. Suku-suku yang bergaris keturunan
kebapakan antara lain adalah Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram,
Nusa tenggara, Irian.
2.
Sistem
Matrilinial (kelompok garis keibuan)
Sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana kedudukan
wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam pewarisan.
Suku-suku yang bergaris keturunan ini adalah Minangkabau, Enggano, dan lain
sebagainya.
3.
Sistem Parental
atau Bilateral (kelompok garis ibu-bapak)
Sistem yang ditarik menurut garis orang tua, atau menurut garis dua
sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam
pewarisan. Adapun suku yang bergaris keturunan ini adalah Jawa, Kalimantan,
Sunda, Madura, Melayu, dan lain-lain.
B. Sistem Pewarisan Hukum Adat
Sistem yang
digunakan untuk menentukan pewarisan adat di Indonesia bermacam-macam.
Penerapan sistem tersebut berhubungan erat dengan adat yang ada di
masing-masing daerah adat setempat, sehingga sistem adat masing-masing daerah
tidak dapat disamakan antara satu daerah dengan daerah yang lain. Meskipun cara
atau sistem pewarisannya berbeda namun
semangat dari hukum adat itu sama, yakni musyawarah mufakat.
Hukum adat
waris di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang berlaku
pada masyarakat yang bersangkutan, baik itu patrilinial, matrilinial ataupun
bilateral. Prinsip-prinsip garis keturunan terutama berpengaruh terhadap
penetapan ahli waris maupun bagian harta peninggalan yang diwariskan. Hukum adat
waris mengenal adanya tiga sistem kewarisan, yaitu[1]:
a.
Sistem
kewarisan individual
Sistem
pewarisan dimana setiap ahli waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai
dan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing secara individual
atau perorangan. Setelah harta warisan itu diadakan pembagian, maka
masing-masing ahli waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta warisannya
untuk digunakan dan dinikmati. Sistem hukum adat seperti ini biasanya dapat
kita temui di wilayah Jawa, Batak, Sulawesi.
b.
Sistem
kewarisan kolektif
Sistem
ini merupakan pengalihan kepemilikan harta peninggalan dari pewaris kepada ahli
waris sebagai kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya,
melainkan setiap ahli waris berhak untuk mengusahakan, menggunakan, atau
mendapat hasil dari harta peninggalan itu. Sedangkan cara pemakaiannya diatur
bersama atas dasar musyawarah dan mufakat oleh semua anggota kerabat yang
berhak atas harta peninggalan dibawah bimbingan kepala kerabat. Sistem
pewarisan adat yang seperti ini biasanya digunakan masyarakat adat Minangkabau.
c.
Sistem
kewarisan mayorat
Sebenarnya
sistem pewarisan mayorat hampir sama dengan sistem kewarisan kolektif, hanya
saja pengalihan harta yang tidak terbagi itu dilimpaahkan kepada anak tertua
yang bertugas sebagai pemimpin keluarga, menggantikan kedudukan ayah atau ibu
sebagai kepala keluarga, yakni mengurus dan memelihara adik-adiknya sampai
mereka dapat berdiri sendiri. Jadi disini, yang paling berhak mendapatkan dan
menguasai harta pewaris adalah anak tertua dari pewaris tersebut. Sistem ini dapat
dibedakan menjadi dua jalur, yakni :
1)
Mayorat
laki-laki, apabila anak laki-laki tertua pada saat pewaris meninggal atau anak
laki-laki sulung merupakan ahli waris tunggal, seperti di Lampung.
2)
Mayorat
perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua pada saat pewaris meinggal,
adalah ahli waris tunggal, seperti di Tanah Semendo Sumatra Selatan.
Harta yang dapat dibagi adalah harta peninggalan setelah
dikurangi dengan biaya-biaya waktu pewaris sakit dan biaya pemakaman serta
hutang-hutang yang ditinggalkan oleh pewaris. Menurut hukum adat untuk
menentukan siapa yang mejadi ahli waris digunakan dua macam garis pokok yaitu[2]
:
a.
Garis pokok
keutamaan, yaitu garis hukum yang menentukan urutan-urutan keutamaan di antara
golongan-golongan dalam keluarga pewaris dengan pengertian bahwa golongan yang
satu lebih diutamakan daripada golongan yang lain. Golongan tersebut adalah
sebagai berikut :
1)
Kelompok
keutamaan I, yaitu mereka sebagai keturunan pewaris.
2)
Kelompok
keutamaan II, yaitu mereka sebagai orang tua pewaris.
3)
Kelompok
keutamaan III, yaitu mereka sebagai saudara-saudara pewaris dan keturunannya.
4)
Kelompok
keutamaan IV, yaitu mereka sebagai kakek dan nenek pewaris.
b.
Garis pokok
penggantian, yaitu garis hukum yang bertujuan untuk menentukan siapa di antara
orang-orang di dalam kelompok keutamaan tertentu, tampil sebagai ahli waris,
golongan tersebut yaitu :
1)
Orang yang
tidak mempunyai penghubung dengan pewaris
2)
Orang yang
tidak ada lagi penghubungnya dengan pewaris
Berdasarkan pengaruh dari prinsip garis keturunan yang
berlaku pada masyarakat itu sendiri,
maka yang menjadi ahli waris tiap daerah akan berbeda. Masyarakat yang menganut
prinsip patrilineal seperti Batak, yang merupakan ahli waris hanyalah anak
laki-laki, demikian juga di Bali. Berbeda dengan masyarakat di Sumatera Selatan
yang menganut matrilineal, golongan ahli waris adalah anak perempuan. Masyarakat Jawa yang menganut sistem
bilateral, baik anak laki-laki maupun perempuan mempunyai hak sama atas harta
peninggalan orang tuanya.
C.
Proses
Peralihan Harta Waris Adat
Proses
peralihan harta waris sering disebut dengan proses pewarisan. Pengertian dari
pewarisan itu sendiri adalah cara bagaimana pewaris berbuat untuk meneruskan
harta kekayaan yang akan ditinggal kepada ahli waris ketika pewaris masih hidup
dan bagaimana harta warisan itu dibagikan kepada ahli waris ketika pewaris
telah wafat.
Pewarisan pada
masyarakat adat mungkin saja dialihkan saat pewaris masih hidup, hal ini dapat
dibuktikan misalnya saat orang tua mengalihkan barang harta keluarga kepada
anak-anak saat masih hidup. Sebagai contoh, terdapat keluarga yang terdiri dari
dua anak laki-laki, serta anak perempuan. Anak laki-laki tertua telah dewasa
dan cakap bekerja, maka ayahnya memberikan sebidang sawah yang dilakukan di
hadapan kepala desa.
Pemberian
tersebut bersifat mutlak dan merupakan pewarisan atau toescheiding, sebab perbuatan tersebut bukan merupakan jual beli tetapi
pengalihan harta benda dalam lingkungan keluarga sendiri[3].
Akan tetapi proses semacam itu sangat
cenderung terjadi pada masyarakat yang menganut sistem kewarisan individual,
dan jarang terjadi. Pemberian harta kepada ahli waris semasa masih hidup dapat
berwujud “jiwa dana”, yakni pemberian lepas dari pewaris kepada ahli waris.
Selain itu ada juga pemberian berupa “pengupah jiwa” yang merupakan pemberian
yang bersifat sementara, hanya untuk dinikmati hasilnya oleh ahli waris.
Peralihan
harta waris pada masyarakat dengan sistem kewarisan mayorat terjadi pada saat
pewaris meninggal dunia. Proses peralihan warisan pada saat pewaris masih hidup
tentu akan berbeda dengan proses pewarisan secara hibah wasiat, karena hibah
wasiat ini baru akan berlaku setelah orang tua meninggal dunia. Pelaksanaan
warisan secara hibah wasiat pada dasarnya bertujuan untuk :[4]
a. Untuk mewajibkan para ahli waris untuk membagi-bagi harta
warisan dengan cara layak menurut anggapan pewaris
b. Untuk mencegah terjadinya perselisihan
c. Dengan hibah wasiat, pewaris menyatakan mengikat
sifat-sifat dari harta peninggalan seperti barang-barang yang disewa dan
barang-barang pusaka.
D.
Hak dan
Kewajiban Ahli Waris Adat
Peristiwa
hukum adalah peristiwa yang menimbulkan hak dan kewajiban, maka dari itu dengan
adanya pewarisan secara hukum adat tentu akan menimbulkan hak dan kewajiban
pula. Sistem yang dianut oleh masing-masing masyarakat adat juga mempengaruhi
hak dan kewajiban seperti pada pembahasan sebelumnya.
Ahli waris
pada sistem masyarakat yang mayorat, seperti pada masyarakat Lampung, mempunyai
hak untuk menikmati harta warisan terutama untuk kelangsungan hidup
keluarganya. Harta warisan yang tidak terbagi-bagi itu hanya dikuasai oleh anak
tertua, dan ia berkuasa untuk mengusahakan sebagai sumber kehidupan baik untuk
pribadi, bersama keluarga atau untuk adik-adiknya.[5]
Perbedaan hak ahli waris yang lain terdapat pada masyarakat Jawa dengan sistem
individual, dimana harta peninggalan si pewaris dibagikan kepada
masing-masing ahli warisnya, sehingga ahli waris berhak memakai, mengolah dan
menikmati hasilnya.[6]
Berbeda dengan
sistem kewarisan yang kolektif seperti di Minangkabau, yaitu harta warisan itu
merupakan harta pusaka milik dari suatu keluarga. Harta peninggalan hanya dapat
dipakai saja oleh segenap warga keluarga yang bersangkutan, dan tidak dapat
dimiliki oleh seluruh warga keluarga secara individual.
Selain hak
atas harta warisan, terdapat juga kewajiban ahli waris atas harta warisan yang
juga berbeda tergantung daerahnya. Kewajiban utama ahli waris di daerah Lampung
adalah menjaga dan memelihara keutuhan harta warisan, mengusahakan harta
warisan untuk kelangsungan hidupnya dan adik-adiknya. Ahli waris di daerah
Tapanuli, Kalimantan, dan Bali mempunyai kewajiban membayar hutang pewaris asal
saja penagih hutang itu memberitahukan haknya kepada ahli waris tersebut, dan
juga menyelenggarakan upacara mayat serta menguburkan (perawatan jenazah).
1. Hutang-hutang pewaris
Terdapat beberapa kebiasaan menyangkut beban-beban yang
ditinggalkan oleh pewaris:
a. Di daerah Tapanuli (suku Batak), Kalimantan (susku Dayak)
dan di Pulau Bali misalnya, para ahli waris wajib membayar hutang pewaris
ketika penagih hutang memberitahukan haknya kepada para ahli waris tersebut
dalam waktu 40 hari setelah pewaris meninggal atau pada waktu “nyekah”
(di Bali), yaitu selamatan bagi orang yang meninggal.
b. Di daerah Gianyar, Bali, hutang-hutang si pewaris hanya
beralih dari orang tua kepada anak-anaknya dan dari suami kepada istri atau
sebaliknya, dan tidak kepada anggota warga keluarga lainnya. Dalam artian, yang
menanggung hutang pewaris ialah anggota keluarga yang paling dekat dengannya.
c. Di Jawa, orang menganggap bahwa hanya harta peninggalan
pewaris dapat dipergunakan untuk membayar hutangnya, sehingga harta itu tidak
boleh dibagi-bagi dulu sebelum hutang pewaris dibayar dari harta tersebut.
Menurut adat, pada hakikatnya sesuatu yang beralih tangan dari orang yang
meninggal kepada para ahli warisnya itu ialah barang-barang tinggalan dalam
keadaan bersih, artinya setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang dan
pembayaran-pembayaran lainnya, misalnya biaya
kubur.
Dalam
hukum adat, pembagian warisan tidak selalu ditangguhkan sampai semua hutang
pewaris dibayar. Setelah para ahli waris menerima bagiannya, mereka dapat ditegur
oleh para kreditur untuk membayar hutang si pewaris. Dan kebanyakan daerah di
Indonesia, terutama di Jawa, hutang-hutang ini harus dibayar oleh para ahli
waris sekedar mereka itu menerima bagian harta peninggalan seta kewajiban
mereka untuk membayar itu sepadan dengan jumlah yang diterima oleh mereka
masing-masing, sehingga jika harta peninggalan itu tidak mencukupi maka para
ahli waris tidak dapat dituntut untuk memebayar kekurangan hutang tersebut. Hal
ini dikuatkan dengan keluarnya Putusan Landraad Purworejo tanggal 23 Maret 1938
di T. 148 halaman 320 berbunyi, bahwa ahli waris bertanggung jawab atas hutang
pewaris sekedar harta warisannya mencukupi.
Menurut
Djojodugoeno-Tirtawinata, khususnya di Jawa Tengah seringkali para ahli waris
membayar juga kekurangannya dengan maksud supaya tidak memberatkan pewaris di
dunia dan akhirat.[7]
2. Biaya perawatan jenazah
Perawatan
jenazah biasanya terdiri dari penyelenggaraan upacara kematian serta penguburannya.
Kewajiban untuk merawat jenazah begitu penting, sehingga seorang ahli waris
dengan tidak sepengetahuan ahli waris lainnya, boleh menjual sesuatu bagian
dari harta peninggalan untuk membiayai penguburan si pewaris, dengan syarat
pengeluaran biaya itu harus diselenggarakan dalam batas-batas yang patut.
Pembayaran
hutang untuk keperluan ongkos mayat harus didahulukan jika ditagih oleh
kreditur. Sebelum harta peninggalan itu dibagi-bagi, maka biaya mayat wajib
dibayar lebih dulu.
Kewajiban
mengubur adalah demikian pentingnya, sehingga jika yang mengerjakan itu tidak
termasuk ahli warisnya, maka ia berhak mengambil sebagian harta peninggalan si
mayat sebagai ganti biaya yang dikeluarkannya. Ketika si mayat meninggal dalam
keadaan tidak mempunyai ahli waris, maka harta peninggalannya dapat diberikan
kepada orang yang menyelenggarakan penguburannya.
Pada
umumnya, selamatan-selamatan untuk arwah yang meninggal diselenggarakan
oleh para ahli waris atas biaya sendiri yang tidak diperhitungkan pada waktu
pembagian harta peninggalan. Selamatan tersebut diadakan pada hari meninggalnya
pewaris dan seterusnya pada hari ke-3, ke-7, ke-40, dan ke-100 sesudah hari
meninggalnya pewaris. Bahkan, di Jawa Tengah dan Jawa Timur berlaku satu tahun,
dua tahun, dan seribu hari setelah pewaris meninggal dunia. Selamatan-selamatan
ini disebut “wilujengan”.
Biaya
untuk menyelenggarakan selamatan-selamatan ini tidak termasuk biaya upacara
mayat dan biaya penguburannya. Namun, apabila setelah semua hutang-hutang
pewaris dilunasi dari harta peninggalannya dan masih ada sisanya, maka biaya
selamatan tersebut dapat pula diambilkan dari sisa harta peninggalan itu.[8]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam hukum adat mengenal adanya tiga sistem kewarisan,
yaitu :
1.
Sistem
kewarisan individual, yaitu sistem pewarisan
dimana setiap ahli waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan atau
memiliki harta warisan serta memanfaatkannya menurut bagiannya masing-masing
secara indiviual atau perorangan. Sistem hukum adat seperti ini biasanya dapat
kita temui di wilayah Jawa, Batak, Sulawesi.
2.
Sistem
kewarisan kolektif, yaitu sistem pewarisan dimana setiap ahli waris tidak bisa
menguasai dan memiliki harta waris secara penuh, mereka hanya diperkenankan
menikmati harta waris tersebut secara bersama-sama. Sistem pewarisan adat yang seperti ini biasanya digunakan
masyarakat adat Minagkabau.
3.
Sistem
kewarisan mayorat, yaitu sistem
kewarisan kolektif yang pengalihan harta itu dilimpahkan kepada anak tertua
yang bertugas sebagai pemimpin keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu
sebagai kepala keluarga. Sistem ini
dapat dibedakan menjadi dua jalur, yakni
mayorat laki-laki dan mayorat perempuan.
Dalam hukum adat, sistem pembagian
kewarisan tidak ditetapkan dengan angka matematika, tetapi berkaitan erat
dengan sistem keturunan yang dianutnutnya. Dengan adanya kematian seseorang
akan menimbulkan akibat hukum, yakni timbulnya hak dan kewajiban bagi keluarga
yang ditinggalkannya. Hak tersebut ialah mendapatkan harta warisan yang
ditinggalkan oleh pewaris, sedangkan kewajibannya ialah melunasi hutang serta
biaya perawatan jenazah.
DAFTAR PUSTAKA
Soekanto,
Soejono, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali, 1986.
Wulansari,
Dewi, Hukum Adat Indonesia Suatu
Pengantar, Bandung : Refika Aditama.
Wignjodipoero, Soerojo, Pengantar
Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung
Agung, 1995.
http://kristya-kembara.blogspot.com/2010/10/hukum-waris-adat.html. Diakses tanggal 23 Mei 2013
[1] Soerjono
Soekanto, Hukum Adat Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Pers, 1981), hlm 260.
[3]Soerjono
Soekanto, Hukum…..., hlm 270 .
[7]Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta:
Gunung Agung, 1995), Cet.14, hlm.178-179.
[8] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar
dan……., hlm.179-180.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar