Assalamu 'alaikuumm.. :)

Minggu, 23 Maret 2014

Tafsir Al-Qur'an Surat ar-Rum (30) Ayat 39


Q.S. Ar-Rum (30) : 39
ومَا آتَيْتُم مِّن رِّباً لِّيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِندَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُم مِّن زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
Artinya :
“Dan apa yang kamu berikan dari riba agar ia bertambah pada harta manusia, maka ia tidak bertambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu  maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”.

Arti Kata
Kata رِّباً dari segi bahasa berarti kelebihan. Mengenai kata ini, para ulama berbeda pendapat. Para pakar tafsir dan hukum seperti al-Qurtubi, Ibn al-‘Arabi, al-Biqa’I, Ibn Katsir, Sayyid Quthub, dan lainnya berpendapat bahwa riba yang dimaksud dalam ayat ini adalah riba yang halal. Ibn Katsir menamainya riba mubah. Sedang menurut Thahir Ibn ‘Asyur dan  pengarang Tafsir al-Muntakhab memaknai riba dalam arti hukum, yakni haram.
Jika dilihat dari cara penulisannya, maka kata riba ditemukan sebanyak delapan kali dalam empat surat. Dalam surat ar-Rum ini riba ditulis tanpa menggunakan wawu (ربا), sedangkan lainnya ditulis dengan menggunakan huruf wawu (الربو). Pakar ilmu al-Qur’an, az-Zarkasyi menjadikan perbedaan penulisan itu sebagai salah satu indikator perbedaan maknanya. Kata riba dalam ayat ini dengan tanpa menggunakan wawu (ربا) dimaknai sebagai riba yang halal yakni hadiah. Kemudian riba yang selainnya dimaknai riba yang haram, yang merupakan salah satu pokok keburukan ekonomi.
فِي أَمْوَالِ النَّاسِ : berarti pada harta manusia. Al-Baqi’ dan sekian ulama lain memahaminya dalam arti harta si pemberi. Penggunaan redaksi tersebut untuk mengisyaratkan bahwa apa yang diperoleh si pemberi dari kelebihan itu, terambil dari harta yang berada di tangan orang lain, sehingga sebenarnya harta tersebut bukanlah hartanya.
زكاة :  secara harfiyah berarti suci dan berkembang. Ketika seseorang berzakat, maka diperlukan kebenaran dan ketulusan agar ia  diterima oleh Allah SWT.

Tafsir :
Dan apa saja yang kamu berikan dari harta yang berupa riba yakni tambahan pemberian berupa hadiah terselubung, dengan tujuan agar ia bertambah bagi kamu pada harta manusia yang kamu beri hadiah itu, maka ia tidak bertambah pada sisi Allah, karena Dia tidak memberkati-Nya. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat, yakni sedekah yang suci yang kamu maksudkan untuk meraih wajah Allah, yakni keridhaan-Nya, maka mereka yang melakukan hal semacam itulah yang sungguh tinggi kedudukannya yang melipat gandakan pahala sedekahnya, karena Allah akan melipatgandakan harta dan ganjaran setiap yang bersedekah demi karena Allah”.
Ayat di atas menyatakan bahwa barang siapa yang menafkahkan hartanya karena Allah semata, maka ia akan memperoleh kebahagiaan, sedang orang yang menafkahkannya dengan cara riya’ atau mengharapkan imbalan serta untuk mendapatkan popularitas maka tidak ada tambahannya di sisi Allah. Dan si pemberi tidak akan mendapat pahala, tetapi hal itu tidak ada dosanya. Demikian pendapat sebagian para ulama dan Sayid Qutb dalam bukunya: "Fi Zi lalil Quran" hal. 48 Jus 21. Dan ayat ini turun karena adanya pemberian seperti itu.
Ayat tersebut  juga menunjukkan bahwa manusia diberikan kebebasan dalam memilih jalan untuk menambah kekayaan. Konsekuensi dari menggantungkan harapan kepada selain Allah dalam hal mengharapkan balasan adalah tidak bertambahnya keridhaan dari Allah, yang bisa jadi berarti harta berapapun tidak akan pernah cukup. Sedangkan konsekuensi dari mengharapkan ridha Allah sudah pasti akan menambah pahala dan balasan yang berlipat ganda. Sebanyak apapun hasil yang diperoleh dari riba, bagi orang yang meyakini adanya Allah dan hari akhir, pada prinsipnya tidak akan menenangkan hati seseorang dari rasa ketidakcukupan harta.
Sayyid Quthub menulis bahwa keetika itu ada orang yang berusaha mengembangkan usahanya dengan memberi hadiah-haddiah kepada orang-orang yang mempu agar memperoleh imbalan yang lebih banyak. Kemudian ayat ini menjelaskan bahwa hal demikian bukanlah cara pengembangan usaha yang sebenarnya, walaupun redaksi ayat ini mencakup semua cara yang bertujuan mengembangkan harta dengan cara dan bentuk apapun yang bersifat penambahan (ribawi). Sayyid Quthub menambahkan dalam catatan kakinya bahwa cara ini tidak haram sebagaimana keharaman riba yang popular, tetapi bukan cara pengembangan harta yang suci dan terhormat. Allah menjelaskan cara pengembangan harta yang sebenarnya pada penggalan ayat selanjutnya, Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu  maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya), yakni memberinya tanpa imbalan, tanpa menanti ganti dari manusia, tetapi semata hanya karena Allah. Karena hanya Allah lah yang melapangkan rezeki dan mempersempitnya.[1]



[1] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,(Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 70-74

2 komentar:

  1. Assalamualaikum ukhty, makasih atas artikelnya bermanfaat sekali, cuma ada satu pertanyaan saya untuk paragraf yang tafsir pada paragraf ke 2 kalimat terakhir menjelaskan bahwasanya org yang menafkahkan hartanya dengan maksud popularitas (ria) tidak mendapat tambahan dari Allah Swt. serta org tersebut juga tidak ada dosa. nah yg ingin saya tanyakan mengapa org tersebut sudah jelas melakukan ria dikatakan tidak ada dosa sedangkan kita ketahui bahwa ria tersebut adalah dosa syirik kecil. mohon tanggapannya ukhty :)

    BalasHapus