Assalamu 'alaikuumm.. :)

Selasa, 29 Oktober 2013

GADAI ATAU RAHN

GADAI ATAU RAHN

BAB II
PEMBAHASAN

    A.            Pengertian Gadai
Gadai dalam perspektif Islam disebut dengan istilah rahn. Secara bahasa rahn (gadai) bermakna ketetapan dan kelanggengan, disebut juga dengan al-habsu yang artinya menahan. Sedangkan menurut istilah syara’ yang dimaksud dengan rahn (gadai) adalah:
a.       Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.
b.      Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan atas utang selama ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda itu.
c.       Akad perjanjian pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.
d.      Menjadikan harta sebagai harta benda sebagai jaminan atas utang.
e.       Suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam utang-piutang.
f.       Menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan utang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.
Gadai menurut ulama Syafi’iyah yaitu menjadikan sesuatu (harta) pegangan (jaminan) bagi sesuatu utang yang boleh digunakan untuk melunasi jika pengutang gagal melunasinya. Sedangkan definisi gadai menurut ulama Maliki adalah sesuatu barang yang bernilai yang diambil dari pemiliknya sebagai pegangan atau jaminan bagi sesuatu utang yang lazim yaitu suatu akad yang membolehkan memegang harta seperti harta tak alih, binatang, barang dagangan, atau manfaat (yang boleh diambil tempo atau pekerjaan) mengaitkan dengan utang. Ulama Hanabilah mendefinisikan bahwa gadai merupakan harta yang dijadikan pegangan bagi sesuatu utang, dan dengan itu ia boleh digunakan untuk membayar jika pengutang gagal membayar utangnya.Sedangkan menurut Imam Ibnu Qudamah, salah seorang pakar fiqh mazhab Hanbali, menyatakan rahn (gadai) adalah sesuatu benda yang dapat dijadikan kepercayaan dari suatu utang untuk dipenuhi dari harganya, apabila yang berutang tidak sanggup membayarnya dari orang yang berpiutang.[1]
Ar-Rahn merupakan perjanjian penyerahan barang untuk menjadi agunan dari fasilitas pembayaran yang diberikan. Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama fiqh. Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan rahn sebagai harta yang bersifat mengikat. Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan rahn dengan, “menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya”. Sedangkan ulama Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali mendefinisikan rahn dalam arti akad, yaitu “menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu”.[2]
Dalam fiqh muamalah, perjanjian gadai disebut rahn. Istilah rahn secara bahasa berarti “menahan”. Maksudnya adalah menahan sesuatu untuk dijadikan sebagai jaminan utang.[3] Sedangkan pengertian gadai menurut hukum syara’ adalah:

جعل عين لها قيمة عاليه في نظر الشرع وثيقه بد ين بحيث يمكن اخذ ذلك الد ين او اخذ بعضه من تلك العين
 Menjadikan sesuatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ sebagai jaminan utang, yang memungkinkan untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari barang tersebut.[4]
            Istilah rahn memiliki akar yang kuat di dalam Al-Qur’an sebagaimana firman Allah:
كل نفس بما كسبت رهينة
Tiap diri terikat (tergadai) dengan apa yang telah diperbuatnya (Q.S. Al-Mudatsir [74]:38).
            Secara formal, keberadaan pegadaian syariah berada dalam lingkup Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian. Karena Perum Pegadaian merupakan satu-satunya badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai.
Sedangkan menurut KUHPerdata Pasal 1150 gadai adalah Suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan. Dari pengertian gadai tersebut dapat disimpulkan bahwa gadai mempunyai cirri-ciri antara lain;
  1. Jaminan gadai benda-benda bergerak.
  2. Mempunyai sifat yang didahulukan
  3. Mempunyai sifat droit de suite yaitu selalu mengikuti bendanya dimanapun atau di tangan siapapun benda itu berada
  4. Memberikan kekuasaan langsung terhadap benda jaminan dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga.
  5. Adanya pemindahan kekuasaan dari nemda yang dijadikan jaminan (unsure inbezitstglling) dari pemberi gadai kepada pemegang gadai.
  6. Gadai merupakan perjanjian accessoir yaitu perjanjian tambahan yang tergantung dari perjanjian pokok.
  7. Gadai tidak dapat dibagi-bagi.
     B.            Dasar Hukum Gadai
            Tidak semua orang memiliki kepercayaan untuk memberikan pinjman/utang kepada pihak lain. Untuk membangun suatu kepercayaan, diperlukan adanya jaminan (gadai) yang dapat dijadikan pegangan. Ada beberapa dalil hukum disyariatkannya gadai sebagai jaminan utang, diantaranya yaitu:
1.      Dalam Al-Qur’an, surat Al-Baqarah : 283

وان كنتم على سفر ولم تجدوا كا تبا فرهان مقبو ضة  فا ن امن بعضكم بعضا فليؤد الذى اؤتمن اما نته وليتق الله ربه
Jika kalian dalam perjalanan (bermuamalah tidak secara tunai), sementara kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanat (utangnya) dan hendaklah bertakwa kepada Allah Tuhannya (Q.S. Al-Baqarah [2]: 283).
            Kutipan ayat (فرهان مقبو ضة ) “maka hendaknya ada barang tanggungan yang dipegang” merupakan anjuran memberikan jaminan untuk membina kepercayaan. Akan tetapi jika sebagian kamu saling mempercayai meskipun tanpa jaminan, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya.[5]
2.      Berdasarkan As-Sunnah
اشتري رسوا الله صلى الله عليه وسلم من يهودي طعاما ورهنه د رعه (رواه البخارى و مسلم )

Dari Aisyah r.a. menjelaskan bahwa Rasulullah SAW pernah membali makanan dari seorang Yahudi, dan dia menggadaikan baju besinya (HR. Bukhari dan Muslim).
3.      Ijma’ ulama
Para ulama mmbolehkan akad gadai, namun mereka berbeda pendapat apakah gadai dibolehkan di waktu mukim atau juga di kala mukim atau hanya dalam perjalanan. Namun, para jumhur ulama berpendapat bahwa akad gadai diperbolehkan baik dalam keadaan mukin maupun dalam kedaan perjalanan, pendapat iniberdasarkan ayat dan praktik dari Nabi Muhammad SAW. Sedangkan para mujtahid, Adl-Dlahak dan Ulama Dzahiriyah berpendapat bahwa akad gadai hanya diperbolehkan saat dalam perjalanan, yang berdasarkan makna Dzahir dari ayat di atas. Namun sesungguhnya pada ayat tersebut dapat dipahami bahwa lazimnya dalam perjalanan sulit diperoleh orang yang mampu menuliskan hutang, yang oleh karenanya untuk menjadikan kepercayaan adanya hutang, dan dilakukan dengan adanya agunan.
            Berdasarkan dalil tersebut, jumhur ulama menyepakati kebolehan status hukum gadai (rahn).[6] Agar gadai tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, maka diperlukan adanya petunjuk (fatwa) dari institusi yang berwenang. Di Indonesia, lembaga yang mempunyai kewenangan untuk memberikan fatwa adalah Dewan Syriah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Terkait dengan gadai, fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan adalah:
                              1.            Fatwa Dewan Syriah Nasional-Majelis Ulama Indonesia No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn.
                              2.            Fatwa Dewan Syriah Nasional-Majelis Ulama Indonesia No. 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas.
                              3.            Fatwa Dewan Syriah Nasional-Majelis Ulama Indonesia No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.
                              4.            Fatwa Dewan Syriah Nasional-Majelis Ulama Indonesia No. 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah.
                              5.            Fatwa Dewan Syriah Nasional-Majelis Ulama Indonesia No. 43/DSN-MUI/VII/2004 tentang Ganti Rugi.
                        Dari fatwa-fatwa tersebut agar berlaku mengikat, maka perlu ditindak lanjuti oleh pemerintah melalui otoritas yang terkai menjadi produk hukum yang berlaku formal.[7]
    C.            Rukun dan Syarat Gadai
Pada prinsipnya, gadai merupakan akad yang bersifat tabi’iyah[8] karena pelaksanaan perjanjiannya tegantung dari berlakunya akad lain yang dijalankan secara tidak tunai. Untuk mencapai keabsahan, rukun dan syarat yang harus dipenuhi dalam perjanjian gadai adalah:
                              1.            Subjek atau Aqidain terdiri dari pihak yang menggadaikan (rahin) dan penerima gadai (murtahin). Agar tercapai keabsahan gadai dapat tercapai, maka masing-masing pihak harus memenuhi syarat-syarat subjek hukum. Dalam dunia bisnis, pihak yang menerima gadai biasanya berupa perusahaan pegadaian. Adapun untuk sahnya akad Gadai sebagai berikut: berakal, baligh (dewasa), wujudnya Marhun, Marhun dipegang oleh Murtahin.
Dalam KUH Pedata, subjek gadai terdiri dari dua pihak, yaitu pemberi gadai (pandgever) dan penerima gadai (pandnemer). Pandgever adalah orang atau badan hukum yang memberikan jaminan dalam bentuk benda bergerak selaku gadaikepada penerima gadai untuk pinjaman uang yang diberikan kepadanya atau pihak ketiga. Sedangkan penerima gadai (pandnemer) adalah orang atau badan hokum yang menerima gadai sebagai jaminan untuk pinjaman uang yang diberikan kepada pemberi gadai.
                              2.            Objek rahn ialah barang yang digadaikan (marhun) dan adanya hutang (marhun bih).
Marhun berfungsi sebagai jaminan mendapatkan pinjaman/utang (marhun bih). Para fuqaha berpendapat, bahwa setiap harta benda yang sah diperjualbelikan, berarti sah pula untuk dijadikan sebagai jaminan utang (marhun). Dalam suatu riwayat Rasulullah bersabda:
كل ما جاز بيعه جاز رهنه
Setiap barang yang boleh diperjualbelikan, boleh pula dijadikan sebagai jaminan.
Gadai merupakan perjanjian yang objeknya bersifat kebendaan (‘ainiyah). Karena itu, gadai dikatakan sempurna jika telah terjadi penyerahan objek akad (marhun). Dalam perjanjian gadai, benda yang dijadikan objek jaminan tidak harus diserahkan secara langsung, tetapi boleh melalui bukti kepemilikan. Penyerahan secara langsung berlaku pada harta yang dapat dipindahkan (mal al-manqul), sedangkan penyerahan melalui bukti kepemilikan berlaku pada harta yang tidak bergerak (mal ghairu-manqul). Menjadikan bukti kepemilikan sebagai jaminan pembayaran utang, hukumnya dibolehkan selama memilki kekuatan hukum. Selain itu, barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria diantaranya yaitu:
a.       Milik sendiri.
b.      Jelas ukuran dan sifatnya serta nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar.
c.       Dapat dikuasai, namun tidak boleh dimanfaatkan oleh pihak bank.[9]
Sedangkan untuk syarat-syarat marhun bih  adalah:
a.       Hutang (marhun bih) telah diterima atau disepakati waktu penerimaannya.
b.      Jumlah hutang diketahui oleh kedua belah pihak.
Menurut KUH Perdata, objek gadai adalah bena bergerak. Benda bergerak ini dibagi menjadi dua macam, yaitu benda berwujud dan tidak berwujud. Benda bergerak berwujud adalah benda yang dapat dipindah atau dipindahkan, yang termasukk dalam benda ini adalah emas, arloji, sepeda motor dan lain-lain. Sedangkan benda bergerak tidak berwujud seperti piutang atas bawah tangan, piutang atas tunjuk, hak memungut hasil atas benda dan atas piutang.
                              3.            Adanya kesepakat ijab qabul (sighat akad).
Lafadz ijab qabul dapat dilakukan baik secara tertulis maupun lisan, yang penting di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai. Para fuqaha sepakat, bahwa perjanjian gadai mulai berlaku sempurna ketika barang yang digadaikan secara hukum telah ada di tangan pihak yang berpiutang (murtahin). Apabila barang gadai telah dikuasai oleh pihak berpiutang, begitu pula sebaliknya, maka perjanjian gadai bersifat mengikat kedua belah pihak. Pernyataan ijab qabul yang terdapat dalam gadai tidak boleh digantungkan (mu’allaq) dengan syarat tertentu yang bertentangan dengan hakikat rahn.[10]
Dan menurut ulama Hanafiyah, jika telah terjadi akad gadai, maka rahin harus menyerahkan barang gadai kepada murtahin dan ia berhak menahan barang gadai sampai hutang dilunasi. Kepercayaan terhadap hutang akan terwujud  jika barang gadai berada di bawah kekuasaan murtahin. Pendapat ini berdasarkan pada firman Allah  dalam surat Al-Baqarah:283, yang memerintahkan untuk menyerahkan agunan, dan hal ini menunjukkan agar barang gadaiditahan oleh murtahin.  

    D.            Mekanisme Gadai (rahn)
Menurut Fiqh Muammalat, mekanisme gadai diantaranya sebagai berikut:
a. Rahin membawa Marhun (Agunan) yang tidak dapat dimanfaatkan atau dikelola kepada kantor pegadaian syariah (Murtahin) untuk meminta fasilitas pembiayaan.
b. Murtahin melakukan pemeriksaan, termasuk juga menaksir harga Marhun yang di berikan oleh rahin sebagai jaminan utang yang akan di pinjamkannya.
c. Setelah semua persyaratan terpenuhi , maka murtahin dan rahin akan melakukan aqad/ transaksi.
d. Sesudah selesai dilakukan akad oleh Murtahin dengan rahin, maka Murtahin memberikan sejumlah uang sesuai kebutuhan yang disesuaikan dengan nilai taksir Marhun kepada Rahin.
e. Ketika rahin melunasi utangnya kepada Murtahin, maka selain Rahin membayar utangnya, ia juga membayar biaya administrasi, biaya taksir Marhun dan biaya sewa tempat barang jaminan kepada kantor pegadaian syariah selaku pihak Murtahin.
Sedangkan menurut KUHPerdata, Perjanjian gadai ini tidaklah berdiri sendiri melainkan merupakan perjanjian ikutan atau accesoir dari perjanjian pokoknya.
Perjanjian pokok ini biasanya adalah berupa perjanjian hutang piutang antara kreditur dan debitur. Dalam suatu perjanjian hutang piutang, debitur sebagai pihak yang berutang meminjam uang atau barang dari kreditur sebagai pihak yang berpiutang. Agar kreditur memperoleh rasa aman dan terjamin terhadap uang atau barang yang dipinjamkan, kreditur mensyaratkan sebuah agunan atau jaminan atas uang atau barang yang dipinjamkan. Agunan ini diantaranya bisa berupa gadai atas barang-barang bergerak yang dimiliki oleh debitur ataupun milik pihak ketiga.
Debitur sebagai pemberi gadai menyerahkan barang-barang yang digadaikan tersebut kepada kreditur atau penerima gadai. Disamping menyerahkan kepada kreditur, barang yang digadaikan ini dapat diserahkan kepada pihak ketiga asalkan terdapat persetujuan kedua belah pihak.[11]

     E.            Hak dan Kewajiban
Secara umum, hak dan kewajiban yang terdpat dalam perjanjian gadai adalah sebagai berikut:[12]
Penerima Gadai (murtahin)

Hak
Kewajiban
a)      Penerima gadai mendapatkan biaya administrasi yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan harta benda gadai (marhun).
b)      Menahan barang yang digadaikan sampai semua utang (marhun bih) dilunasi.
c)      Berhak menjual barang yang digadaikan apabila pemberi gadai pada saat jatuh tempo tidak dapat memenuhi kewajiban. Hasil penjualan diambil sebagian untuk melunasi semua utang dan sisanya dikembalikan kepada pemberi gadai.

a)      Penerima gadai bertanggung jawab atas hilang atau merosotnya harga benda gadai bila itu desebabkan kelalaian.
b)      Tidak bleh menggunakan barang gadai untuk kepentingan pribadinya.
c)      Berkewajiban memberi informasi kepada pihak pemberi gadai sebelum mengadakan pelelangan harta benda gadai.
                 
Pemberi Gadai (Rahin)
a)      Pemberi gadai berhak mendapatkan pembiayaan dan atau jasa penitipan
b)      Rahin berhak menerima kembali harta benda yang digadaikan sesudah melunasi utangnya.
c)      Rahin  berhak menuntut ganti rugi atas kerusakan dan atau hilangnya harta benda yang digadaikan.
d)     Rahin berhak menerima sisa hasil penjualan harta benda gadai sesudah dikurangi biaya pinjaman dan biaya lainnya.
e)      Rahin berhak meminta kembali harta benda gadai jika diketahuin adanya penyalahgunaan.
a)      Rahin  berkewajiban melunasi semua utang yang telah diterimanya dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, termasuk biaya lain yang disepakati.
b)      Pemeliharaan benda gadai pada dasarnya menjadi kewajiban pemberi gadai. Namun jika dilakukan oleh penerima gadai, maka biaya pemeliharaan tetap menjadi kewajiban rahin. Besar biaya pemeliharaan tidak bleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
c)      Rahin berkewajiban merelakan penjualan barang gadai bila dalam jangka waktu yang telah ditetapkan ternyata tidak mampu melunasi pinjamannya.
Sedangkan, di dalam pasal 1155 KUH Perdata telah diatur tentang hak dan kewajiban penerima gadai dan pemberi gadai, yaitu:
Hak-hak penerima gadai antara lain:
a.       Seorang kreditur dapat melakukan parate executie (eignmachtige verkoop) yaitu menjual atas kekuasaan sendiri benda-benda debitur, dalam hal debitur lali atau wanprestasi.
b.      Kreditur berhak menjual benda bergerak milik debitur melalui perantara hakim dan disebut rieel executie.
c.       Sesuai dengan bunyi pasal 1157 ayat (2) KUH Perdata, kreditur berhak mendapatkan penggantian dari debitur atas semua biaya yang bermanfaat yang telah dikeluarkan kreditur untuk keselamatan benda gadai.
d.      Kemudian pasal 1158 KUH Perdata menyatakan, jika suatu piutang digadaikan dan piutang itu menghasilkan bunga maka kreditur berhak memperhitungkan bunga piutang tersebut untuk dibayarkan kepadanya.
e.       Kreditur mempunyai hak retentive, yaitu hak kreditur untuk menahan benda kreditur sampai debitur membayar sepenuhnya hutang pokok ditambah Bunga dan biaya-biaya lainnya yang telah dikeluarkan oleh kreditur untuk menjaga keselamatan benda gadai. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 1159 KUH Perdata.
Kewajiban penerima gadai, antara lain:[13]
1.      Hanya menguasai benda selaku hounder bukan sebagai bezziter serta menjaga keselamatannya. Dengan demikian kreditur tidak boleh menikmati atau memindahtangankan benda-benda debitur yang dijaminkan itu.
2.      Kreditur wajib memberitahu debitur apabila benda gadai akan dijual selambat-lambatnya pada hari berikutnya apabila ada suatu perhubungan pos harian atau suatu perhubungan telegrap, atau jika tidak dapat dilakukan diperbolehkan melalui pos yang berangkat pertama (pasal 1156 ayat (2) KUHPerdata).
3.      Kreditur bertanggungjawab atas hilangnya atau merosotnya nilai benda gadai jika terjadi kelalaiannya (pasal 1157 KUHPerdata).
4.      Kreditur wajib mengembalikan benda gadai setelah hutang pokok, bunga, biaya atau ongkos untuk penyelamatan benda yang bersangkutan telah dibayar lunas.
Hak-hak pemberi gadai, antara lain:
1.      Menerima uang gadai dari penerima gadai.
2.      Berhak atas barang gadai, apabila hutang pokok, Bunga dan biaya lainnya telah dilunasi.
3.      Berhak menuntut kepada pengadilan supaya barang gadai dijual untuk melunasi hutang-hutangnya (pasal 1157 KUH Perdata).
Kewajiban pemberi gadai, antara lain:
1.      Menyerahkan barang gadai kepada penerima gadai.
2.      Membayar pokok dan sewa modal kepada penerima gadai.
3.      Membayar biaya yang dikeluarkan oleh penerima gadai untuk menyelamatkan barang-barang gadai (pasal 1157 KUH Perdata).

     F.            Berakhirnya Akad Gadai
Menurut Fiqh Muammalah, akad gadai dapat berakhir apabila hal-hal berikut ini terpenuhi:
1.      Rahin atau pemberi gadai melunasi hutangnya.
2.      Murtahin atau penerima gadai mengembalikan barang gadai sebelum habisnya masa gadai.
3.      Barang gadai dibeli oleh penerima gadai sebelum habis masa gadai tanpa meminta pengganti barang lain sebagai agunan.
4.      Penerima gadai (murtahin) membebaskan hutang rahin.
5.      Menurut sebagian ulama, meninggalnya salah satu pihak atau pihak-pihak yang menadai jadi subjek dalam akad gadai. Sedangkan menurut yang lain, akad gadai tetap berjalan dilanjutkan oleh ahli waris masing-masing.
Sedangkan dalam Pasal 1152 KUH Perdata dan Surat Bukti Kredit (SBK). Dalam KUH Perdata ditentukan dua cara hapusnya hak gadai, yaitu:
a.       Barang gadai itu hapus dari kekuasaan pemegang gadai, dan
b.      Hilangnya barang gadai atau dilepaskan dari kekuasaan penerima gadai Surat Bukti Kredit.
Begitu juga dalam SBK telah diatur tentang berakhirnya gadai. Salah satunya adalah jika jangka waktu gadai telah berakhir. Jangka waktu gadai itu minimal 15 hari dan maksimal 120 hari. Ari Hutugalung telah menyistemisasi hapusnya hak gadai. Ia mengemukakan 5 cara hapusnya hak gadai, yaitu:[14]
1.      Hapusnya perjanjian pokok yang dijamin dengan gadai.
2.      Terlepasnya benda gadai dari kekuasaan penerima gadai.
3.      Musnahnya barang gadai.
4.      Dilepaskannya benda gadai secara sukarela.
5.      Percampuran (penerima gadai menjadi pemilik benda gadai).
 
    G.            Tujuan dan Fungsi Gadai
Pegadaian pada dasarnya mempunyai tujuan-tujuan pokok seperti dicantumkan dalam PP No. 103 tahun 2000 sebagai berikut:
1.      Turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golongan menengah ke bawah melalui penyediaan dana atas dasar hukum gadai, dan jasa di bidang keuangan lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.      Turut melaksanakan dan menunjung pelaksanaan kebijakan dan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya melalui penyaluran uang pinjaman kepada masyarakat atas dasar hukum gadai.
3.      Mencegah dan memberantas praktek pegadaian gelap, ijon dan pinjaman tidak wajar lainnya.      
        Fungsi pokok pegadaian adalah sebagai berikut:
1.      Mengelola penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai dengan    cara mudah, cepat, aman dan hemat.
2.      Menciptakan dan mengembangkan usaha-usaha lain yang menguntungkan bagi pegadaian maupun masyarakat.
3.      Mengelola keuangan, perlengkapan, kepegawaian, pendidikan dan pelatihan.
4.      Mengelola organisasi, tata kerja dan tata laksana pegadaian.
5.      Melakukan penelitian dan pengembangan serta mengawasi pengelolaan pegadaian.
       Dari tugas, tujuan dan fungsi pegadaian tersebut perum pegadaian adalah lembaga kredit yang melayani hampir semua jenis kebutuhan dana. Kredit tersebut dapat berupa kredit untuk kebutuhan konsumsi atau terlebih untuk tujuan produksi (misalnya biaya pengolahan sawah dan sebagainya). [15]


BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Rahn (gadai) adalah menjadikan sesuatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ sebagai jaminan utang, yang memungkinkan untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari barang tersebut. Rukun dan syarat gadai ada tiga yaitu adanya Aqidain (terdiri dari pihak yang menggadaikan dan penerima gadai), objek rahn ialah barang yang digadaikan (marhun), dan adanya kesepakat ijab qabul (sighat akad).

B.     KRITIK DAN SARAN
Di dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, kami menerima kritik dan saran dari para pembaca, agar dalam penulisan makalah selanjutnya saya dapat memperbaiki semuanya dan tidak akan mengulangi kesalahan lagi.


DAFTAR PUSTAKA

S., Burhanuddin , Fiqh Muamalah Pengantar Kuliah Ekonomi Islam, (Yogyakarta: The Syariah Institute, 2009)

Sabiq Sayyid, Al-Fiqh As-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), jilid 3

Ali, Zainuddin, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), cet. I

S., Burhanuddin, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), cet.I





http://ekisonline.com/keuangan-perbankan/item/62-pegadaian-dalam-perspektif-islam




[1] http://caknenang.blogspot.com/2011/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
[2] http://ekisonline.com/keuangan-perbankan/item/62-pegadaian-dalam-perspektif-islam
[3] Burhanuddin S., Fiqh Muamalah Pengantar Kuliah Ekonomi Islam, (Yogyakarta: The Syariah Institute, 2009), hlm. 175
[4] Sayyid Sabiq, Al-Fiqh As-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), jilid 3, hlm. 187
[5] Burhanuddin S., Fiqh Muamalah Pengantar Kuliah Ekonomi Islam, (Yogyakarta: The Syariah Institute, 2009), hlm. 176
[6] Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), cet. I, hlm. 8
[7] Burhanuddin S., Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), cet.I, hlm.171
[8] Akad tabi’iyah adalah akad yang tidak berdiri berdiri sendiri dan berlakunya tergantung dengan akad lain.
[9] Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta:AMP YKPN,2005)
[10] Burhanuddin S., Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), cet.I, hlm.173
[12] Burhanuddin S., Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), cet.I, hlm.174
[13] Ibid.,.
[14] Ibid. hlm.50