GADAI ATAU RAHN
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Gadai
Gadai dalam perspektif Islam disebut
dengan istilah rahn. Secara bahasa rahn (gadai) bermakna
ketetapan dan kelanggengan, disebut juga dengan al-habsu yang artinya menahan. Sedangkan menurut istilah syara’
yang dimaksud dengan rahn (gadai) adalah:
a. Akad
yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.
b. Menjadikan
suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan atas utang selama
ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda
itu.
c. Akad
perjanjian pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.
d. Menjadikan
harta sebagai harta benda sebagai jaminan atas utang.
e. Suatu
barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam utang-piutang.
f. Menjadikan
suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan utang, dengan
adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian utang dapat
diterima.
Gadai menurut ulama Syafi’iyah yaitu
menjadikan sesuatu (harta) pegangan (jaminan)
bagi sesuatu utang yang boleh digunakan untuk melunasi jika pengutang gagal
melunasinya. Sedangkan definisi gadai menurut ulama Maliki adalah sesuatu
barang yang bernilai yang diambil dari pemiliknya sebagai pegangan atau jaminan
bagi sesuatu utang yang lazim yaitu suatu akad yang membolehkan memegang harta
seperti harta tak alih, binatang, barang dagangan, atau manfaat (yang boleh
diambil tempo atau pekerjaan) mengaitkan dengan utang. Ulama Hanabilah
mendefinisikan bahwa gadai merupakan harta yang dijadikan pegangan bagi sesuatu
utang, dan dengan itu ia boleh digunakan untuk membayar jika pengutang gagal membayar utangnya.Sedangkan menurut Imam Ibnu
Qudamah, salah seorang pakar fiqh mazhab Hanbali, menyatakan rahn (gadai)
adalah sesuatu benda yang dapat dijadikan kepercayaan dari suatu utang
untuk dipenuhi dari harganya, apabila yang berutang tidak sanggup membayarnya
dari orang yang berpiutang.[1]
Ar-Rahn
merupakan perjanjian penyerahan barang untuk menjadi agunan dari fasilitas
pembayaran yang diberikan. Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama
fiqh. Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan rahn sebagai harta yang bersifat
mengikat. Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan rahn dengan, “menjadikan sesuatu
(barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai
pembayar hak (piutang) tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya”. Sedangkan
ulama Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali mendefinisikan rahn dalam arti akad,
yaitu “menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan
pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu”.[2]
Dalam fiqh muamalah, perjanjian gadai disebut rahn.
Istilah rahn secara bahasa berarti “menahan”. Maksudnya adalah menahan
sesuatu untuk dijadikan sebagai jaminan utang.[3]
Sedangkan pengertian gadai menurut hukum syara’ adalah:
جعل عين لها قيمة عاليه في نظر الشرع وثيقه بد ين بحيث
يمكن اخذ ذلك الد ين او اخذ بعضه من تلك العين
Menjadikan sesuatu barang yang mempunyai nilai harta
dalam pandangan syara’ sebagai jaminan utang, yang memungkinkan untuk mengambil
seluruh atau sebagian utang dari barang tersebut.[4]
Istilah
rahn memiliki akar yang kuat di dalam Al-Qur’an sebagaimana firman
Allah:
كل نفس بما كسبت رهينة
Tiap diri terikat (tergadai) dengan apa yang telah
diperbuatnya (Q.S.
Al-Mudatsir [74]:38).
Secara
formal, keberadaan pegadaian syariah berada dalam lingkup Perusahaan Umum
(Perum) Pegadaian. Karena Perum Pegadaian merupakan satu-satunya badan usaha di
Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan
berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum
gadai.
Sedangkan
menurut KUHPerdata Pasal 1150 gadai adalah Suatu hak yang diperoleh
seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh
seorang yang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan
kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang
tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya, dengan
kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah
dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya
mana harus didahulukan. Dari pengertian gadai tersebut dapat disimpulkan bahwa
gadai mempunyai cirri-ciri antara lain;
- Jaminan gadai benda-benda
bergerak.
- Mempunyai sifat yang
didahulukan
- Mempunyai sifat droit de suite
yaitu selalu mengikuti bendanya dimanapun atau di tangan siapapun benda
itu berada
- Memberikan kekuasaan langsung
terhadap benda jaminan dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga.
- Adanya pemindahan kekuasaan
dari nemda yang dijadikan jaminan (unsure inbezitstglling) dari pemberi
gadai kepada pemegang gadai.
- Gadai merupakan perjanjian
accessoir yaitu perjanjian tambahan yang tergantung dari perjanjian pokok.
- Gadai tidak dapat dibagi-bagi.
B.
Dasar Hukum Gadai
Tidak
semua orang memiliki kepercayaan untuk memberikan pinjman/utang kepada pihak
lain. Untuk membangun suatu kepercayaan, diperlukan adanya jaminan (gadai) yang
dapat dijadikan pegangan. Ada beberapa dalil hukum disyariatkannya gadai sebagai
jaminan utang, diantaranya yaitu:
1.
Dalam Al-Qur’an, surat Al-Baqarah : 283
وان كنتم على سفر ولم تجدوا كا تبا فرهان مقبو ضة فا ن امن بعضكم بعضا فليؤد الذى اؤتمن اما نته
وليتق الله ربه
Jika kalian
dalam perjalanan (bermuamalah tidak secara tunai), sementara kalian tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanat (utangnya) dan
hendaklah bertakwa kepada Allah Tuhannya (Q.S. Al-Baqarah [2]: 283).
Kutipan ayat (فرهان مقبو ضة ) “maka hendaknya ada barang tanggungan
yang dipegang” merupakan anjuran memberikan jaminan untuk membina kepercayaan.
Akan tetapi jika sebagian kamu saling mempercayai meskipun tanpa jaminan,
hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya.[5]
2.
Berdasarkan As-Sunnah
اشتري
رسوا الله صلى الله عليه وسلم من يهودي طعاما ورهنه د رعه (رواه البخارى و مسلم )
Dari Aisyah r.a.
menjelaskan bahwa Rasulullah SAW pernah membali makanan dari seorang Yahudi,
dan dia menggadaikan baju besinya (HR.
Bukhari dan Muslim).
3. Ijma’
ulama
Para ulama mmbolehkan akad gadai, namun mereka berbeda
pendapat apakah gadai dibolehkan di waktu mukim atau juga di kala mukim atau
hanya dalam perjalanan. Namun, para jumhur ulama berpendapat bahwa akad gadai
diperbolehkan baik dalam keadaan mukin maupun dalam kedaan perjalanan, pendapat
iniberdasarkan ayat dan praktik dari Nabi Muhammad SAW. Sedangkan para
mujtahid, Adl-Dlahak dan Ulama Dzahiriyah berpendapat bahwa akad gadai hanya
diperbolehkan saat dalam perjalanan, yang berdasarkan makna Dzahir dari ayat di
atas. Namun sesungguhnya pada ayat tersebut dapat dipahami bahwa lazimnya dalam
perjalanan sulit diperoleh orang yang mampu menuliskan hutang, yang oleh
karenanya untuk menjadikan kepercayaan adanya hutang, dan dilakukan dengan
adanya agunan.
Berdasarkan dalil tersebut, jumhur
ulama menyepakati kebolehan status hukum gadai (rahn).[6]
Agar gadai tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, maka
diperlukan adanya petunjuk (fatwa) dari institusi yang berwenang. Di Indonesia,
lembaga yang mempunyai kewenangan untuk memberikan fatwa adalah Dewan Syriah
Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Terkait dengan gadai, fatwa-fatwa
yang telah dikeluarkan adalah:
1.
Fatwa Dewan Syriah Nasional-Majelis Ulama Indonesia No.
25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn.
2.
Fatwa Dewan Syriah Nasional-Majelis Ulama Indonesia No.
26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas.
3.
Fatwa Dewan Syriah Nasional-Majelis Ulama Indonesia No.
09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.
4.
Fatwa Dewan Syriah Nasional-Majelis Ulama Indonesia No.
10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah.
5.
Fatwa Dewan Syriah Nasional-Majelis Ulama Indonesia No.
43/DSN-MUI/VII/2004 tentang Ganti Rugi.
Dari
fatwa-fatwa tersebut agar berlaku mengikat, maka perlu ditindak lanjuti oleh
pemerintah melalui otoritas yang terkai menjadi produk hukum yang berlaku
formal.[7]
C.
Rukun dan Syarat Gadai
Pada
prinsipnya, gadai merupakan akad yang bersifat tabi’iyah[8]
karena pelaksanaan perjanjiannya tegantung dari berlakunya akad lain yang
dijalankan secara tidak tunai. Untuk mencapai keabsahan, rukun dan syarat yang
harus dipenuhi dalam perjanjian gadai adalah:
1.
Subjek atau Aqidain terdiri dari pihak yang menggadaikan (rahin)
dan penerima gadai (murtahin). Agar tercapai keabsahan gadai dapat
tercapai, maka masing-masing pihak harus memenuhi syarat-syarat subjek hukum.
Dalam dunia bisnis, pihak yang menerima gadai biasanya berupa perusahaan
pegadaian. Adapun untuk sahnya akad Gadai sebagai
berikut: berakal, baligh (dewasa), wujudnya Marhun, Marhun dipegang oleh
Murtahin.
Dalam
KUH Pedata, subjek gadai terdiri dari dua pihak, yaitu pemberi gadai (pandgever) dan penerima gadai (pandnemer). Pandgever adalah orang atau
badan hukum yang memberikan jaminan dalam bentuk benda bergerak selaku
gadaikepada penerima gadai untuk pinjaman uang yang diberikan kepadanya atau
pihak ketiga. Sedangkan penerima gadai (pandnemer)
adalah orang atau badan hokum yang menerima gadai sebagai jaminan untuk
pinjaman uang yang diberikan kepada pemberi gadai.
2.
Objek rahn ialah barang yang digadaikan (marhun) dan
adanya hutang (marhun bih).
Marhun
berfungsi sebagai jaminan mendapatkan pinjaman/utang (marhun bih). Para
fuqaha berpendapat, bahwa setiap harta benda yang sah diperjualbelikan, berarti
sah pula untuk dijadikan sebagai jaminan utang (marhun). Dalam suatu
riwayat Rasulullah bersabda:
كل ما جاز بيعه جاز رهنه
Setiap barang
yang boleh diperjualbelikan, boleh pula dijadikan sebagai jaminan.
Gadai
merupakan perjanjian yang objeknya bersifat kebendaan (‘ainiyah). Karena
itu, gadai dikatakan sempurna jika telah terjadi penyerahan objek akad (marhun).
Dalam perjanjian gadai, benda yang dijadikan objek jaminan tidak harus
diserahkan secara langsung, tetapi boleh melalui bukti kepemilikan. Penyerahan
secara langsung berlaku pada harta yang dapat dipindahkan (mal al-manqul),
sedangkan penyerahan melalui bukti kepemilikan berlaku pada harta yang
tidak bergerak (mal ghairu-manqul). Menjadikan bukti kepemilikan sebagai
jaminan pembayaran utang, hukumnya dibolehkan selama memilki kekuatan hukum.
Selain itu, barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria diantaranya yaitu:
a.
Milik sendiri.
b.
Jelas ukuran dan sifatnya serta nilainya ditentukan berdasarkan nilai
riil pasar.
c.
Dapat dikuasai, namun tidak boleh dimanfaatkan oleh pihak bank.[9]
Sedangkan untuk syarat-syarat marhun bih adalah:
a.
Hutang (marhun bih) telah
diterima atau disepakati waktu penerimaannya.
b.
Jumlah hutang diketahui oleh kedua belah pihak.
Menurut KUH Perdata, objek gadai adalah bena bergerak.
Benda bergerak ini dibagi menjadi dua macam, yaitu benda berwujud dan tidak
berwujud. Benda bergerak berwujud adalah benda yang dapat dipindah atau
dipindahkan, yang termasukk dalam benda ini adalah emas, arloji, sepeda motor
dan lain-lain. Sedangkan benda bergerak tidak berwujud seperti piutang atas
bawah tangan, piutang atas tunjuk, hak memungut hasil atas benda dan atas
piutang.
3.
Adanya kesepakat ijab qabul (sighat akad).
Lafadz
ijab qabul dapat dilakukan baik secara tertulis maupun lisan, yang penting di
dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai. Para fuqaha sepakat, bahwa
perjanjian gadai mulai berlaku sempurna ketika barang yang digadaikan secara
hukum telah ada di tangan pihak yang berpiutang (murtahin). Apabila
barang gadai telah dikuasai oleh pihak berpiutang, begitu pula sebaliknya, maka
perjanjian gadai bersifat mengikat kedua belah pihak. Pernyataan ijab qabul
yang terdapat dalam gadai tidak boleh digantungkan (mu’allaq) dengan
syarat tertentu yang bertentangan dengan hakikat rahn.[10]
Dan
menurut ulama Hanafiyah, jika telah terjadi akad gadai, maka rahin harus
menyerahkan barang gadai kepada murtahin dan ia berhak menahan barang gadai
sampai hutang dilunasi. Kepercayaan terhadap hutang akan terwujud jika barang gadai berada di bawah kekuasaan
murtahin. Pendapat ini berdasarkan pada firman Allah dalam surat Al-Baqarah:283, yang
memerintahkan untuk menyerahkan agunan, dan hal ini menunjukkan agar barang
gadaiditahan oleh murtahin.
D.
Mekanisme Gadai (rahn)
Menurut Fiqh Muammalat,
mekanisme gadai diantaranya sebagai berikut:
a. Rahin membawa Marhun (Agunan) yang tidak
dapat dimanfaatkan atau dikelola kepada kantor pegadaian syariah (Murtahin)
untuk meminta fasilitas pembiayaan.
b. Murtahin melakukan pemeriksaan, termasuk juga
menaksir harga Marhun yang di berikan oleh rahin sebagai jaminan
utang yang akan di pinjamkannya.
c. Setelah semua persyaratan terpenuhi , maka murtahin dan
rahin akan melakukan aqad/ transaksi.
d. Sesudah selesai dilakukan akad oleh Murtahin dengan
rahin, maka Murtahin memberikan sejumlah uang sesuai kebutuhan
yang disesuaikan dengan nilai taksir Marhun kepada Rahin.
e. Ketika rahin melunasi
utangnya kepada Murtahin, maka selain Rahin membayar utangnya, ia
juga membayar biaya administrasi, biaya taksir Marhun dan biaya sewa
tempat barang jaminan kepada kantor pegadaian syariah selaku pihak Murtahin.
Sedangkan
menurut KUHPerdata, Perjanjian
gadai ini tidaklah berdiri sendiri melainkan merupakan perjanjian ikutan
atau accesoir dari perjanjian pokoknya.
Perjanjian pokok ini biasanya adalah berupa perjanjian
hutang piutang antara kreditur dan debitur. Dalam suatu perjanjian hutang piutang,
debitur sebagai pihak yang berutang meminjam uang atau barang dari kreditur
sebagai pihak yang berpiutang. Agar kreditur memperoleh rasa aman dan terjamin
terhadap uang atau barang yang dipinjamkan, kreditur mensyaratkan sebuah agunan
atau jaminan atas uang atau barang yang dipinjamkan. Agunan ini
diantaranya bisa berupa gadai atas barang-barang bergerak yang dimiliki
oleh debitur ataupun milik pihak ketiga.
Debitur sebagai pemberi gadai menyerahkan barang-barang yang
digadaikan tersebut kepada kreditur atau penerima gadai. Disamping menyerahkan
kepada kreditur, barang yang digadaikan ini dapat diserahkan kepada pihak
ketiga asalkan terdapat persetujuan kedua belah pihak.[11]
E.
Hak dan Kewajiban
Secara umum, hak
dan kewajiban yang terdpat dalam perjanjian gadai adalah sebagai berikut:[12]
Penerima Gadai (murtahin)
|
|
Hak
|
Kewajiban
|
a)
Penerima gadai mendapatkan biaya administrasi yang telah dikeluarkan
untuk menjaga keselamatan harta benda gadai (marhun).
b)
Menahan barang yang digadaikan sampai semua utang (marhun bih)
dilunasi.
c)
Berhak menjual barang yang digadaikan apabila pemberi gadai pada saat
jatuh tempo tidak dapat memenuhi kewajiban. Hasil penjualan diambil sebagian
untuk melunasi semua utang dan sisanya dikembalikan kepada pemberi gadai.
|
a)
Penerima gadai bertanggung jawab atas hilang atau merosotnya harga
benda gadai bila itu desebabkan kelalaian.
b)
Tidak bleh menggunakan barang gadai untuk kepentingan pribadinya.
c)
Berkewajiban memberi informasi kepada pihak pemberi gadai sebelum
mengadakan pelelangan harta benda gadai.
|
Pemberi Gadai (Rahin)
|
|
a)
Pemberi gadai berhak mendapatkan pembiayaan dan atau jasa penitipan
b)
Rahin berhak menerima kembali harta benda yang digadaikan sesudah
melunasi utangnya.
c)
Rahin berhak menuntut ganti rugi atas
kerusakan dan atau hilangnya harta benda yang digadaikan.
d)
Rahin berhak menerima sisa hasil penjualan harta benda gadai sesudah
dikurangi biaya pinjaman dan biaya lainnya.
e)
Rahin berhak meminta kembali harta benda gadai jika diketahuin adanya
penyalahgunaan.
|
a)
Rahin berkewajiban melunasi semua
utang yang telah diterimanya dalam tenggang waktu yang telah ditentukan,
termasuk biaya lain yang disepakati.
b)
Pemeliharaan benda gadai pada dasarnya menjadi kewajiban pemberi
gadai. Namun jika dilakukan oleh penerima gadai, maka biaya pemeliharaan
tetap menjadi kewajiban rahin. Besar biaya pemeliharaan tidak bleh
ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
c)
Rahin berkewajiban merelakan penjualan barang gadai bila dalam jangka waktu
yang telah ditetapkan ternyata tidak mampu melunasi pinjamannya.
|
Sedangkan,
di dalam pasal 1155 KUH Perdata telah diatur tentang hak dan kewajiban penerima
gadai dan pemberi gadai, yaitu:
Hak-hak penerima gadai antara lain:
a.
Seorang kreditur dapat melakukan parate executie (eignmachtige verkoop) yaitu
menjual atas kekuasaan sendiri benda-benda debitur, dalam hal debitur lali atau
wanprestasi.
b.
Kreditur berhak menjual benda bergerak milik
debitur melalui perantara hakim dan disebut rieel
executie.
c.
Sesuai dengan bunyi pasal 1157 ayat (2) KUH
Perdata, kreditur berhak mendapatkan penggantian dari debitur atas semua biaya
yang bermanfaat yang telah dikeluarkan kreditur untuk keselamatan benda gadai.
d.
Kemudian pasal 1158 KUH Perdata menyatakan,
jika suatu piutang digadaikan dan piutang itu menghasilkan bunga maka kreditur
berhak memperhitungkan bunga piutang tersebut untuk dibayarkan kepadanya.
e.
Kreditur mempunyai hak retentive, yaitu hak
kreditur untuk menahan benda kreditur sampai debitur membayar sepenuhnya hutang
pokok ditambah Bunga dan biaya-biaya lainnya yang telah dikeluarkan oleh
kreditur untuk menjaga keselamatan benda gadai. Hal ini sesuai ketentuan Pasal
1159 KUH Perdata.
Kewajiban
penerima gadai, antara lain:[13]
1.
Hanya menguasai benda selaku hounder bukan sebagai bezziter serta menjaga keselamatannya.
Dengan demikian kreditur tidak boleh menikmati atau memindahtangankan
benda-benda debitur yang dijaminkan itu.
2.
Kreditur wajib memberitahu debitur apabila
benda gadai akan dijual selambat-lambatnya pada hari berikutnya apabila ada
suatu perhubungan pos harian atau suatu perhubungan telegrap, atau jika tidak
dapat dilakukan diperbolehkan melalui pos yang berangkat pertama (pasal 1156
ayat (2) KUHPerdata).
3.
Kreditur bertanggungjawab atas hilangnya atau
merosotnya nilai benda gadai jika terjadi kelalaiannya (pasal 1157 KUHPerdata).
4.
Kreditur wajib mengembalikan benda gadai
setelah hutang pokok, bunga, biaya atau ongkos untuk penyelamatan benda yang
bersangkutan telah dibayar lunas.
Hak-hak
pemberi gadai, antara lain:
1.
Menerima uang gadai dari penerima gadai.
2.
Berhak atas barang gadai, apabila hutang
pokok, Bunga dan biaya lainnya telah dilunasi.
3.
Berhak menuntut kepada pengadilan supaya
barang gadai dijual untuk melunasi hutang-hutangnya (pasal 1157 KUH Perdata).
Kewajiban
pemberi gadai, antara lain:
1.
Menyerahkan barang gadai kepada penerima
gadai.
2.
Membayar pokok dan sewa modal kepada penerima
gadai.
3.
Membayar biaya yang dikeluarkan oleh penerima
gadai untuk menyelamatkan barang-barang gadai (pasal 1157 KUH Perdata).
F.
Berakhirnya Akad Gadai
Menurut Fiqh Muammalah, akad gadai dapat berakhir
apabila hal-hal berikut ini terpenuhi:
1.
Rahin atau pemberi gadai melunasi hutangnya.
2.
Murtahin atau penerima gadai
mengembalikan barang gadai sebelum habisnya masa gadai.
3.
Barang gadai dibeli oleh penerima gadai
sebelum habis masa gadai tanpa meminta pengganti barang lain sebagai agunan.
4.
Penerima gadai (murtahin) membebaskan hutang rahin.
5.
Menurut sebagian ulama, meninggalnya salah
satu pihak atau pihak-pihak yang menadai jadi subjek dalam akad gadai.
Sedangkan menurut yang lain, akad gadai tetap berjalan dilanjutkan oleh ahli
waris masing-masing.
Sedangkan dalam Pasal 1152 KUH Perdata dan Surat
Bukti Kredit (SBK). Dalam KUH Perdata ditentukan dua cara hapusnya hak gadai,
yaitu:
a.
Barang gadai itu hapus dari kekuasaan pemegang
gadai, dan
b.
Hilangnya barang gadai atau dilepaskan dari
kekuasaan penerima gadai Surat Bukti Kredit.
Begitu juga dalam SBK telah diatur tentang
berakhirnya gadai. Salah satunya adalah jika jangka waktu gadai telah berakhir.
Jangka waktu gadai itu minimal 15 hari dan maksimal 120 hari. Ari Hutugalung
telah menyistemisasi hapusnya hak gadai. Ia mengemukakan 5 cara hapusnya hak
gadai, yaitu:[14]
1.
Hapusnya perjanjian pokok yang dijamin dengan
gadai.
2.
Terlepasnya benda gadai dari kekuasaan
penerima gadai.
3.
Musnahnya barang gadai.
4.
Dilepaskannya benda gadai secara sukarela.
5.
Percampuran (penerima gadai menjadi pemilik
benda gadai).
G.
Tujuan dan Fungsi Gadai
Pegadaian pada dasarnya mempunyai
tujuan-tujuan pokok seperti dicantumkan dalam PP No. 103 tahun 2000 sebagai
berikut:
1. Turut
meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golongan menengah ke bawah
melalui penyediaan dana atas dasar hukum gadai, dan jasa di bidang keuangan
lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Turut
melaksanakan dan menunjung pelaksanaan kebijakan dan program pemerintah di
bidang ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya melalui penyaluran uang
pinjaman kepada masyarakat atas dasar hukum gadai.
3. Mencegah
dan memberantas praktek pegadaian gelap, ijon dan pinjaman tidak wajar lainnya.
Fungsi pokok pegadaian adalah sebagai berikut:
1. Mengelola
penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai dengan cara
mudah, cepat, aman dan hemat.
2. Menciptakan
dan mengembangkan usaha-usaha lain yang menguntungkan bagi pegadaian maupun
masyarakat.
3. Mengelola
keuangan, perlengkapan, kepegawaian, pendidikan dan pelatihan.
4. Mengelola
organisasi, tata kerja dan tata laksana pegadaian.
5. Melakukan
penelitian dan pengembangan serta mengawasi pengelolaan pegadaian.
Dari tugas, tujuan dan fungsi pegadaian tersebut perum pegadaian adalah lembaga
kredit yang melayani hampir semua jenis kebutuhan dana. Kredit tersebut dapat
berupa kredit untuk kebutuhan konsumsi atau terlebih untuk tujuan produksi
(misalnya biaya pengolahan sawah dan sebagainya). [15]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Rahn (gadai) adalah menjadikan sesuatu barang yang
mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ sebagai jaminan utang, yang
memungkinkan untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari barang tersebut. Rukun dan syarat gadai ada
tiga yaitu adanya Aqidain (terdiri dari pihak yang menggadaikan dan penerima
gadai), objek rahn ialah barang yang digadaikan (marhun), dan
adanya kesepakat ijab qabul (sighat akad).
B.
KRITIK DAN
SARAN
Di dalam
penulisan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk
itu, kami menerima kritik dan saran dari para pembaca, agar dalam penulisan
makalah selanjutnya saya dapat memperbaiki semuanya dan tidak akan mengulangi
kesalahan lagi.
DAFTAR PUSTAKA
S., Burhanuddin , Fiqh Muamalah Pengantar Kuliah
Ekonomi Islam, (Yogyakarta: The Syariah Institute, 2009)
Sabiq Sayyid, Al-Fiqh As-Sunnah, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1995), jilid 3
Ali, Zainuddin, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2008), cet. I
S., Burhanuddin, Aspek Hukum Lembaga Keuangan
Syariah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), cet.I
http://ekisonline.com/keuangan-perbankan/item/62-pegadaian-dalam-perspektif-islam
[1] http://caknenang.blogspot.com/2011/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
[2] http://ekisonline.com/keuangan-perbankan/item/62-pegadaian-dalam-perspektif-islam
[3] Burhanuddin S., Fiqh
Muamalah Pengantar Kuliah Ekonomi Islam, (Yogyakarta: The Syariah Institute,
2009), hlm. 175
[5] Burhanuddin S., Fiqh
Muamalah Pengantar Kuliah Ekonomi Islam, (Yogyakarta: The Syariah
Institute, 2009), hlm. 176
[7] Burhanuddin S., Aspek
Hukum Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), cet.I,
hlm.171
[8] Akad tabi’iyah
adalah akad yang tidak berdiri berdiri sendiri dan berlakunya tergantung dengan
akad lain.
[10] Burhanuddin S., Aspek
Hukum Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), cet.I,
hlm.173
[12] Burhanuddin S., Aspek
Hukum Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), cet.I,
hlm.174