BAB
I
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Badan Hukum
Manusia
bukanlah satu-satunya subjek hukum. Dalam lalu lintas hukum diperlukan sesuatu
hal lain yang bukan manusia yang menjadi subjek hukum. Disamping orang, dikenal
juga subjek hukum yang bukan manusia yang disebut Badan Hukum. Badan Hukum
adalah organisasi atau kelompok manusia yang mempunyai tujuan tertentu yang
dapat menyandang hak dan kewajiban. Badan hukum bertindak sebagai suatu
kesatuan dalam lalu lintas hukum seperti orang.[1]
Hanya saja bedanya, badan hukum tidak dapat kawin, tidak dapat mempunyai anak,
tidak dapat mempunyai kekuasaan material, dan badan hukum tidak dapat dipenjara
kecuali dijatuhi hukuman denda.[2]
Badan
hukum adalah subjek hukum ciptaan manusia pribadi berdasarkan hukum, yang
diberi hak dan kewajiban seperti manusia pribadi.[3]
B. Syarat-syarat
Pembentukan Badan Hukum
Dalam
hukum perdata tidak ada ketentuan yang mengatur tentang syarat-syarat
materialpembentukan badan hukum. Yang ada ialah syarat formal, yaitu harus
dengan Akta Notaris. Karena tidak ada ketentuan demikian, maka menurut Prof.
Meyers (1948), doktrin ilmu hukum menetapkan syarat-syarat itu ialah :
1. Ada
harta kekayaan sendiri
2. Ada
tujuan tertentu
3. Ada
kepentingan sendiri
4. Ada
organisasi yang teratur.
Badan hukum itu memiliki harta kekayaan
sendiri yang terpisah dengan harta kekayaan pribadi anggota, pendiri, atau
pengurusnya. Harta kekayaan ini diperoleh dari pemasukan para anggota atau
pemasukan dari perbuatan pemisahan pendirinya yang mempunyai tujuan mendirikan
badan itu. Harta kekayaan ini diperlukan sebagai alat untuk mencapai tujuan
tertentu dalam hubungan hukum.
Badan hukum mempunyai tujuan tertentu,
dan bukan merupakan tujuan pribadi anggota atau pendirinya. Badan hukum sebagai
pedukung hak dan kewajiban melakukan usahanya sendiri dalam mencapai tujuannya.
Tujuan tersebut dapat bersifat komersial dan dapat pula bersifat ideal.
Badan hukum harus mempunyai kepentingan
sendiri. Kepentingan adalah hak subjektif yang timbul dari peristiwa hukum,
yang dilindungi oleh hukum. Badan hukum yang mempunyai kepentingan sendiri
dapat menuntut dan mempertahankan kepentingannya itu terhadap pihak ketiga
dalam pergaulan hukum.
Badan hukum adalah satu kesatuan
organisasi bentukan manusia berdasarkan hukum (rechtsconstructie), yang hanya dapat melakukan perbuatan hukum
melalui alat perlengkapannya. Alat perlengkapannya tersebut merupakan pengurus
badan hukum yang mempunyai fungsi dan tugas yang diatur dalam anggaran dasar.
Dengan demikian, badan hukum merupakan organisasi yang teratur, yang termasuk
unsur esensial bagi badan hukum.
Menurut Prof. Meyers, apabila suatu
badan hukum yang dibentuk itu mempunyai empat syarat yang telah diuraikan di
atas, maka badan hukum tersebut disahkan dan diakui sebagai badan hukum. Ia
berstatus sebagai subjek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban dalam hubungan
hukum.
Empat syarat yang telah diuraikan di
atas disebut syarat material pembentukan badan hukum. Sedangkan syarat
formalnya adalah pembuatan Akta Notaris atau pembuatan Undang-Undang yang
melhirkan badan hukum itu. Dalam Akta Notaris atau dalam UU itu termuat pula
empat syarat material pembentukan badan hukum.[4]
C. Prosedur
Pembentukan Badan Hukum
Terdapat dua cara dalam
pembentukan badan hukum, yaitu:
1. Dengan
perjanjian
Pada
badan hukum yang dibentuk dengan perjanjian, status badan hukum itu diakui oleh
pemerintah melalui pengesahan anggaran dasar yang termuat dalam akta pendirian.
Anggaran dasar tersebut merupakan kesepakatan yang dibuat oleh para pendirinya.
Misalnya pada Perseroan Terbatas dan Koperasi. Pada Perseroan Terbatas,
anggaran dasarnya dimuat dalam akta pendirian yang dibuat di muka Notaris
(Pasal 38 ayat 1 KUHD), yang disahkan oleh Menteri Kehakiman RI. Akta pendirian
yang sudah sah ini kemudian didaftarkan kepada Kepaniteraan Pengadilan Negeri
yang berwenang dan diumumkan dalam Berita Negara/Tambahan Berita Negara (pasal
38 ayat 1 kalimat kedua Kitab Undang-Undang Hukum Dagang).
2. Dengan
undang-undang
Sedangkan
pada badan hukum yang dibentuk dengan Undang Undang, status badan hukum
tersebut ditetapkan oleh undang-undang, misalnya pmbentukan Perum, Persero,
Perjan, dan lain-lain.
D. Macam-macam
Badan Hukum
Dilihat
dari wewenang hukum yang diberikan kepada hukum, maka badan hukum dapat
diklasifikasi menjadi dua macam, yaitu:[5]
1. Badan
hukum publik (kenegaraan)
Badan
hukum yang didirikan berdasarkan hukum public yang menyangkut kepentingan
public, orang banyak atau negara pada umumnya. Badan hukum ini meruapakn
badan-badan hukum negara yang mempunyai kekuasaan wilayah atau merupakan
lembaga yang dibentuk oleh yang berkuasa, berdasarkan perundang-undangan yang
dijalankan eksekutif, pemerintah atau badan pengurus yang diberi tugas untuk
itu. Misalnya seperti Negara, Profinsi, Kbupaten, Banks Indonesia, dan
lain-lain.
2. Badan
hukum privat (keperdataan)
Badan
hukum ini didirikan berdasarkan hukum sipil atau perdata yang menyangkut
kepentingan pribadi di dalam badan hukum itu. Selain itu, merupakan badan hukum
swasta yang didirikan oleh pribadi orang untuk tujuan tertentu, yaitu mencari
keuntungan, sosial pendidikan, ilmu pengetahuan, politik, kebudayaan,
kesehatan, olah raga, dan lain-lain.[6]
Menurut tujuannya,
badan hukum privat dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a.
Badan hukum yang
bertujuan memperoleh laba, terdiri dari perusahaan negara, yaitu Perusahaan
Umum (Perum), Perusahaan Perseroan (Persero), Perusahaan Jawatan (Perjan) ; dan
perusahaan swasta, yaitu Perusahaan Terbatas (P.T.).
b.
Badan hukum yang
bertujuan memenuhi kesejahteraan para anggotanya, yaitu Koperasi.
c.
Badan hukum yang
bertujuan bersifat ideal di bidang sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan,
kebudayaan, keagamaan. Ada pemisahan antara kekayaan badan hukum dan kekayaan
pribadi pengurusnya. Termasuk dalam jenis ini adalah yayasan, organisasi keagamaan,
wakaf.
E. Teori-teori
Badan Hukum Dianggap Sebagai Subyek Hukum
Badan
hukum sebagai subjek hukum dapat bertindak dalam lalu lintas hukum, jadi dapat
melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti manusia. Misalnya dapat memiliki
kekayaan sendiri, dapat melakukan jual beli, dapat digugat di muka hakim.[7]
Ada beberapa teori
mengapa badan hukum dianggap sebagai subyek hukum, yakni:[8]
1. Teori
Fiksi (Fictie Theori)
Teori
ini dipelopori oleh Von Safigny menyatakan bahwa syarat-syarat dalam
peraturan-peraturan hukum yang melekat pada badan seorang manusia,
terang-benderang tidak ada pada badan-badan hukum, akan tetapi badan hukum
boleh dianggap seolah-olah seorang manusia. Teori fiksi yang menganggap
persamaan badan hukum dengan seorang manusi hanya sebagai perumpamaan (fiksi)
belaka, mengatakan bahwa peraturan-peraturan hukum bagi pelaksanaannya
memerlukan pekerjaan jiwa manusia, seperti pengetahuan tentang suatau hal yang
disembunyikan dalam penipuan, ketakutan dalam soal paksaan, kesalahan dalam hal
tindakan melawan hukum, ini semua tidaklah berlaku bagi badan hukum.
Teori
ini dapat menjawab permasalahan: siapa yang digugat kalau karena
tindakan-tindakan badan hukum seseorang dirugikan. Atau siapa yang berhak
menggugat apabila seseorang merugikan badan hukum.
2. Teori
Orgen (Orgaan Theori)
Teori
yang dipelopori oleh Otto von Gierke ini berpendapat bahwa badan hukum adalah
suatu yang sungguh-sungguh ada di dalam pergaulan hukum yang mewujudkan
kehendaknya dengan perantaraan alat-alat (organ-organ) yang ada padanya
(pengurus) seperti manusia. Menurutnya badan hukum bukanlah sesuatu fiksi
tetapi merupakan makhluk yang sungguh-sungguh ada secara abstrak dari
konstruksi yuridis. Funsi badan hukum dipersamakan dengan fungsi manusia.
3. Teori
Kekayaan Tujuan
Teori
kekayaan tujuan ini dipelopori oleh A.
Brinz dan EIJ van der Heyden, berpendapat bahwa kekayaan badan hukum bukan
kekayaan seseorang, tetapi kekayaan itu terikat pada tujuannya (Zweck-Vermogen). Tiap hak tidak
ditentukan oleh suatu subjek tetapi ditentukan oleh suatu tujuan. Menurut teori
ini hanya manusia lah yang menjadi subjek hukum
dan badan hukum adalah untuk melayani kepentingan tertentu.
4. Teori
Milik Kolektif
Teori
ini dipelopori oleh W.L.P.A. Molengraff dan Marcel Planiol. Dalam teori ini
badan hukum ialah harta yang tidak dapat dibagi-bagi dari anggota-anggota
secara bersama-sama. Hak dan kewajiban badan hukum pada hakikatnya adalah hak
dan kewajiban para anggota secara bersama-sama. Oleh karenanya badan hukum
hanya konstruksi yuridis, dan pada hakikatnya hanya abstrak.
Selain empat teori di
atas terdapat satu teori milik Duguit yang menyatakan tidak mengakui adanya
badan hukum sebagai subjek hukum, tetapi hanya fungsi-fungsi sosila yang harus
dilaksanakan. Manusia sajalah yang menjadi subjek hukum, selain manusia bukan
subjek hukum.
BAB
II
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Badan
Hukum adalah organisasi atau kelompok manusia yang mempunyai tujuan tertentu
yang dapat menyandang hak dan kewajiban. Badan hukum bertindak sebagai suatu
kesatuan dalam lalu lintas hukum seperti orang. Hanya saja bedanya, badan hukum
tidak dapat kawin, tidak dapat mempunyai anak, tidak dapat mempunyai kekuasaan
material, dan badan hukum tidak dapat dipenjara kecuali dijatuhi hukuman denda.
Badan hukum sebagai subjek hukum dapat bertindak dalam lalu lintas hukum, jadi
dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti manusia. Misalnya dapat
memiliki kekayaan sendiri, dapat melakukan jual beli, dapat digugat di muka
hakim.
B.
KRITIK
DAN SARAN
Di dalam penulisan
makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, kami
menerima kritik dan saran dari para pembaca, agar dalam penulisan makalah
selanjutnya saya dapat memperbaiki semuanya dan tidak akan mengulangi kesalahan
lagi.
DAFTAR
PUSTAKA
Ruhiatudin,
Budi, Pengantar Ilmu Hukum, Yogyakarta: Teras, 2008
Muhammad,
Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, Bandung:
PT Citra Aditya, 2000
Sudikno Mertokusumo, Mengenal
[1] Sudikno
Mertokusumo, Mengenal, hlm.54
[2] Budi
Ruhiatudin, Pengantar Ilmu Hukum,
(Yogyakarta: Teras, 2008), hlm.60
[3] Abdulkadir
Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung:
PT Citra Aditya, 2000), hlm.29
[4] Abdulkadir
Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung:
PT Citra Aditya, 2000), hlm.31-32
[6]
Budi Ruhiatudin, Pengantar Ilmu Hukum,
(Yogyakarta: Teras, 2008), hlm.61
[7]
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata
Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya, 2000), hlm.22
[8]
Budi Ruhiatudin, Pengantar Ilmu Hukum,
(Yogyakarta: Teras, 2008), hlm.62-63
Tidak ada komentar:
Posting Komentar